Dampak mengerikan adalah perusahaan banyak yang tutup karena produksi menumpuk alias tidak lalu, sehingga Perusahaan melakukan PHK massal para buruhnya sebagai jalan satu-satu nya agar perusahaan bisa tetap berjalan .
Ternyata penderitaan itu bukan hanya milik buruh saja.
Perusahaan banyak yang tutup bukan hanya karena dampak upah murah tapi juga karena serbuan barang import terutama tekstil.
Barang produksi lokal menjadi tidak laku karena kalah saing dengan harga yang lebih murah dengan kwalitas hampir sama.
Belum lagi bergesernya model industri dari konvensional menjadi digitalisasi/otomatisasi membuat sebagian besar perusahaan tutup dan memPHK massal Pekerja/buruh nya.
Derita rakyat belum berhenti, anak-anak buruh dihadapkan dengan kenaikan biaya pendidikan (SPP) , Uang Kampus Tunggal (UKT) yang semakin mahal .
Berarti hanya anak-anak orang kaya saja yang bisa melanjutkan kuliah sedangkan anak buruh tidak bisa merasakan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Hal ini menyebabkan nasib hidup anak-anak buruh semakin didorong ke sisi jurang kemiskinan, karena apa yang dicita citakan tidak terwujud kandas ditengah jalan.
“Padahal kita sama – sama tahu bahwa pendidikan itu dijamin oleh negara sesuai dengan amanat Konstitusi UUD 45 yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa,” urainya.