Menurutnya, kasus Jiwasraya ini bukanlah murni tindak pidana korupsi. Meskipun terkesan, Kejagung memaksakan kasus Jiwasraya ini.
Maka angle pelaku tindak pidana korupsinya mungkin adalah para pejabat Jiwasraya-nya yang gagal mengelola dana nasabah.
Karena apa yang terjadi hanya masalah gagal bayar asuransi Jiwasraya, yang semestinya harus dibayarkan ke tertanggung/nasabah ketika sudah jatuh tempo.
Seperti diketahui, BPK RI menyatakan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi Jiwasraya mencapai Rp 16,81 triliun.
Sebelumnya, Ketua BPK Agung Firman Sampurna menyebut kerugian tersebut berasal dari pembelian saham dan reksa dana selama periode 2008-2018.
Yakni terdiri dari kerugian negara investasi saham sebesar Rp 4,65 triliun dan kerugian negara akibat investasi di reksadana sebesar Rp 12,16 triliun.
Bahkan Jaksa Agung RI ST Burhanuddin mengaku pihaknya telah menyita aset dari enam orang tersangka sebanyak Rp 13,1 triliun.
Tak sampai disitu, penyidiknya akan terus melacak aset yang diduga hasil kejahatan untuk dikembalikan pada negara.
Prof Budi Kagramanto pun mewanti-wanti Korps Adhyaksa agar cermat menangani kasus ini.
Sebab patut diwaspadai oleh Kejagung bahwa kasus Jiwasraya ini akan merembet ke sejumlah perusahaan asuransi di Indonesia.
Dia menjelaskan, Jiwasraya adalah perusahaan asuransi jiwa milik pemerintah dan preminya dibayar oleh tertanggung, di mana tertanggungnya adalah masyarakat.
Maka, lanjutnya, sudah barang tentu premi-premi yang terkumpul sejak lama menumpuk di asuransi tersebut.
“Jadi premi yang numpuk inilah yang disalahgunakan oleh oknum untuk permainan saham dan hal tersebut menjadikan asuransi Jiwasraya menjadi kolaps,” katanya.
Artinya, atas kolaps tersebut tentu bukanlah salah tertanggung/nasabah.
Sebab nasabah merupakan pihak yang paling dirugikan dan bukan negara yang mengalami kerugian.
Komentari tentang post ini