JAKARTA – Kecaman terhadap tindakan kekerasan dan diskriminasiyang dialami mahasiswa Mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) di Cisauk, Tangerang Selatan (Tangsel) semakin meluas.
Terbaru, kecaman datang dari YLBHI dan LBH Jakarta.
Ketua Umum Yayasan LBH Indonesia, Muhamad Isnur menilai kasus pemukulan yang disertai pembacokan yang dialami sejumlah Mahasiswa Unpam saat melakukan ibadah Doa Rosario merupakan kejahatan.
“Ini tindakan intoleransi yang tidak boleh dibiarkan,” jelasnya.
YLBHI dan LBH Jakarta memantau serta mendapatkan video kejadian yang menunjukkan adanya tindakan aktif oleh Ketua Rukun Tetangga (RT) yang melarang beribadah, sekaligus mendesak untuk memindahkan ibadah doa yang sedang berlangsung ke Gereja.
Alasan yang dikemukakan oleh Ketua RT ialah ibadah dilaksanakan terlalu malam.
Alih-alih menjamin kebebasan dan kemerdekaan warga untuk beribadah, Ketua RT setempat justru melakukan tindakan yang memancing kebencian antar umat beragama, yang disertai kekerasan.
Padahal, sebagai elemen negara dalam lingkup terkecil, kepengurusan RT sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Peraturan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, memiliki tugas dan mandat yang salah satunya ialah “menanamkan dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan masyarakat”.
Selain itu, tindakan pelarangan terhadap sejumlah mahasiswa yang beribadah di ruang privat merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip pemenuhan, perlindungan dan penghormatan hak atas kemerdekaan beragama atau berkeyakinan.
Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Serta Pasal 22 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu serta Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya”.
Dalam berbagai peristiwa, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda agama/keyakinan, seringkali menyebabkan konflik sektarian yang meluas.
Pengalaman konflik internasional antar umat beragama/berkeyakinan di Timur Tengah dapat memberikan gambaran yang mengerikan tentang bagaimana kekerasan menjadi hal yang lumrah dan negara terjerumus menjadi negara gagal (failed states) karena tidak mampu menjalankan fungsinya.
Begitu pula yang terjadi di Ambon dan Poso beberapa dekade lalu.
Gagalnya negara melakukan upaya pencegahan, sekaligus dugaan keterlibatan aparatur negara, terakumulasi menjadi faktor penyebab konflik.
Ironisnya, ribuan jiwa yang sebelumnya hidup rukun menjadi korban, bahkan sampai memakan korban jiwa.
Negara dalam kasus-kasus pelanggaran hak atas kemerdekaan beragama atau berkeyakinan (freedom of religion or belief) melalui aparat penegak hukumnya cenderung bertindak diskriminatif dengan mempersempit dan menyalahgunakan penerapan Pasal 156a KUHP pada bentuk-bentuk kebebasan berekspresi atau keyakinan dan pendapat dalam pengamalan (practice) yang merupakan manifestasi kemerdekaan beragama atau berkeyakinan terkhusus pada ruang digital.
Komentari tentang post ini