Keadilan sosial menjadi muara dari sila ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan dan demokrasi permusyawaratan/perwakilan.
Dalam konsepsi demokrasi Indonesia, keadilan sosial inilah yang membedakan antara demokrasi Barat yang menitikberatkan pada demokrasi politik, untuk dikoreksi ke dalam demokrasi ekonomi yang bekerja dalam sistem budaya bangsa.
Sintesis antara demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan demokrasi dalam kebudayaan itulah yang melahirkan cita-cita “tidak ada kemiskinan dalam bumi Indonesia Merdeka.”
Selanjutnya, jika ada gerakan yang ingin mengganti Pancasila dengan sistem Khilafah yang diusung oleh kelompok radikal, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi sangat tidak relevan.
Pemerintah secara tegas juga telah melarang HTI sejak 2018.
Tantangan ini serius, sejak era Orde Baru 1966 sampai sekarang, belum pernah ada Gerakan seterbuka HTI yang terang-benderang menuduh sistem demokrasi sebagai thogut.
HTI hendak mengganti Pancasila dengan sistem Khilafah.
HTI melakukan penetrasi di kampus-kampus dari level mahasiswa sampai profesor, serta pengaruh mereka di partai-partai politik dan organisasi masyarakat.
Gerakan HTI menolak demokrasi dan menyebutnya sebagai sistem kafir. Namun, lucunya saat mereka mempromosikan ide-ide mereka yang antidemokrasi berlindung di balik dalih-dalih demokrasi, misalnya kebebasan berpendapat, kebebasan berdemonstrasi dan hak asasi manusia.
Mirip kisah perang Troya, taktik HTI seperti taktik serdadu Yunani menggunakan patung kuda untuk menyusup dalam benteng kota Troya yang tak bisa mereka taklukan selama 10 tahun.
HTI menjadikan demokrasi sebagai “Kuda Troya” untuk menyusup ke dalam benteng Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) guna menaklukannya, seperti yang dilakukan serdadu Yunani mengalahkan Troya.
Komentari tentang post ini