Praktis, putusan yang sama mengandung ketidakpastian hukum.
Gustav Radbruch, seorang ahli hukum dari Jerman mengatakan salah satu unsur penegakan hukum dan etika adalah kepastian hukum (rechtssicherheit).
Apa kata hukumnya, itu yang harus ditegakkan. Itu berarti setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum yang sama dalam hal terjadi peristiwa konkret.
Hukum sudah mengatur bahwa Hakim Konstitusi yang terbukti melakukan pelanggaran berat harus diberi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Hakim Konstitusi.
Sanksi itulah yang harus dijatuhkan terhadap AU demi mewujudkan kepastian hukum. MKMK tidak perlu menciptakan formula hukum baru dalam menerapkan sanksi.
Tidak diterapkannya sanksi secara konsisten atau tidak sepadan dengan pelanggaran berat sebagaimana telah dilakukan oleh AU, justru semakin menjatuhkan reputasi MK dan AU itu sendiri.
Upaya MKMK meringankan sanksi bagi AU tidak banyak membantu upaya penegakan hukum dan etika di ruang publik. Tetap tidak banyak membantu mengangkat citra dan kepercayaan masyarakat terhadap MK dan Hakim Konstitusi di dalamnya termasuk AU sendiri.
Sadar atau tidak, sudah ada cap negatif yang sudah tertanam pada diri AU yaitu cacat etika dan cacat perilaku sebagai Hakim Konstitusi.
Sebab MKMK sendiri sudah memutuskan AU terbukti telah melakukan pelanggaran berat. Keberadaan AU sendiri di MK pun saat ini sebenarnya tidak ada gunanya lagi.
Apalah gunanya menjadi Hakim Konstitusi kalau seluruh kewenangan AU untuk ikut memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara di MK sudah dicabut oleh MKMK.
Pada butir 5 amar putusan MKMK, dengan tegas ada larangan: AU tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.
Komentari tentang post ini