JAKARTA-Rupiah dalam krisis, mengikuti krisis penyelenggaraan perekonomian nasional. Stabilitas nilai Rupiah terancam, perekonomian dalam bahaya morat-marit. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) meningkat. Perbankan tetap bersikap “tidak mau rugi”. Itulah sikap perbankan yang ribawi. Perusahaan pribumi satu demi satu goyah dan bahkan tidak sedikit yang berguguran. Yang goyah tidak mampu bayar bunga sudah diancami oleh perbankan (yg tidak lagi mau berperan sbg agent of development dan agentbof indonesianization).
Utang L/C valuta asing dan peluang ekspor yg menyempit telah pula menjiret pengusaha pribumi, tukang2 tadahnya pun sudah disiapkan perbankan kapitalistik. Perbankan tersuap olek kapitalisme. Sebentar lagi tramsfer pemilikan dari pri ke nonpri akan makin intensif. Lalu perbankan Indonesia untuk siapa, apa kerja OJK dalam memuliakan misi kemerdekaan, mengapa Bank Indonesia perpangku tangan terhadap OJK yang membiarkan ketidakadilan ekonomi. Bank2 lupa daratan. Ketika bank2 dilanda krisis moneter 1998 karena kerakusan dan ketidak jujurannya, Negara-lah yg menolong mereka dg BLBI, Obligasi Rekap, MSAA, Release&Dicharge, Subsidi Bunga, ratusan sampai ribuan trilyun akan menjadi ancaman abadi masa depan.
Kebijakan ekonomi moneter telah menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Intinya bangsa ini bunuh-diri (teggelam ke dalam suicidal syndrome), membiarkan proses aborijinisasi diri.
Otoritasa Jasa Keuangan (OJK) merasa mencorong, mampu memfasilitasi masuknya globalisasi pasar-bebas ke prrekonomian nasional. Tidak terdengar OJK prihatin dengan transfer pemilikan dari pri ke nonpri. Di situ usaha pribumi tergilas globalisasi yang mereka kagumi. Ya kan? Apa untungnya ada OJK, begitu tanya para pengusaha pribumi yg menunggu gulung tikar. Salam prihatin.
Komentari tentang post ini