Di samping tugas dan wewenang tersebut di atas, Badan Wakaf Indonesia juga berfungsi sebagai Nazhir.
Artinya, Badan Wakaf Indonesia juga melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf.
Dengan kata lain, Badan Wakaf Indonesia sebagai Nazhir, berdasarkan UU tentang Wakaf, dapat menerima, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf dari masyarakat.
Di lain pihak, Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga negara independen, berdasarkan UU tentang Keuangan Negara, seharusnya tidak boleh menghimpun, mengelola atau mengembangkan dana masyarakat, termasuk harta benda wakaf. Bukankah begitu?
Sehingga kedua UU di atas terindikasi saling bertentangan: UU tentang Wakaf bertentangan dengan UU tentang Keuangan Negara, dalam hal menerima dan mengelola harta benda wakaf.
Kalau pertentangan kedua UU ini dibiarkan berlanjut, maka kepastian hukum menjadi taruhan. Khawatirnya, kementerian atau lembaga negara lainnya akan mengikuti fenomena ini, dan berupaya menghimpun dana dari masyarakat.
Sebagai contoh, Kementerian Agama sudah mulai menghimpun wakaf uang dan berhasil mengumpulkan Rp4,13 miliar: https://republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/qnjqn1457/gerakan-wakaf-uang-kemenag-himpun-rp-413-miliar
Kementerian BUMN juga berkomitmen menghimpuan wakaf uang hingga Rp80 miliar: https://koranbumn.com/2021/01/menteri-erick-thohir-pastikan-komitman-kementerian-bumn-saat-ini-akan-himpun-wakaf-uang-senilai-rp-80-miliar/
Komentari tentang post ini