Diskualifikasi
Lebih lanjut, Petrus menjelaskan, dengan angka Rp 5 miliar dalam bentuk arloji berlogo AHY-Sylvi, yang tersebar di seluruh Jakarta maka dugaan politik uang dalam acara silaturahim tersebut sudah tergolong sangat masif dan sistimatis. Karenanya KPUD, Bawaslu DKI dan Sentra Gakumdu harus mendiskualifikasi pasangan calon AHY-Sylvi atau menyerahkan persoalan kepada aparat penegak hukum untuk diproses secara pidana.
Petrus mengatakan pembagian jam tangan berupa souvenir berlogo AHY-Sylvi secara gratis pada masa kampanye nyaris serupa dengan kejadian politik uang yang terjadi pada saat kampanye pilkada di Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2010 yang lalu.
Waktu itu, pasangan calon Bupati dan Tim Kampanye dari salah satu pasangan calon Bupati Kotawaringin Barat yang membagikan dana kepada relawannya berjumlah -/+ 8000 anggota dengan sejumlah uang transport, untuk masing-masing anggota relawan sebesar Rp. 200.000,- atau kalau ditotal sebesar Rp. 1.600.000.000.
“Dan ketika pasangan ini memenangkan pilkada, maka pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati yang kalah menggugat ke MK dengan alasan terjadi money politik secara masif, terstruktur dan sistimatis. Atas alasan money politik tadi, maka MK membatalkan kemenangan pasangam calon yang membagi-bagi uang untuk relawannya selama masa kampanye. Modus ini identik dengan bagi-bagi jam tangan ke seluruh peserta silaturahim yang diselenggarakan oleh Tim Kampanye dan Partai Demokrat untuk pasangan calon gubernur DKI Jakarta AHY-Sylvi, di luar wilayah hukum KPU DKI Jakarta. Ini apa motifnya,” urainya.
“Jka AHY-Sylvi tidak didskualifikasi karena pembagian jam tangan berlogo AHY-Sylvi dalam kemasan souvenir dan dibiarkan mengikuti pilkada 15 Februari 2017 dan berhasil memenangkan Pilgub DKI Jakarta 2017, maka pasangan calon terpilih itu berpotensi digugat ke MK untuk pembatalan kemenangannya, sementara untuk tindak pidana politik uangnya tetap harus diproses secara hukum sesuai dengan UU Pilkada,” pungkasnya.
Komentari tentang post ini