Dia menegaskan, apabila terdapat ketidaksepakatan dalam negosiasi akuisisi-merger, berarti ada hal yang tidak sesuai dari sisi nilai tambah pasca aksi korporasi, kesepakatan harga hingga tidak cocok secara visi dan misi.
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah yang berpendapat bahwa kabar batalnya rencana merger dan akuisisi dalam aksi korporasi adalah hal biasa. “Tidak semua due dilligence harus berakhir dengan kata sepakat,” tegasnya.
Piter menambahkan, dengan memahami karakter pengendali Bank Muamalat, ada beberapa kemungkinan penyebab rencana aksi korporasi BBTN ini tidak terealisasi.
Salah satunya disebabkan oleh pemegang saham pengendali Bank Muamalat adalah Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang memiliki banyak aturan, termasuk melakukan divestasi.
Anggota Komisi VI DPR, Herman Khairon mendukung sikap kehati-hatian manajemen BBTN dalam proses akuisisi Bank Muamalat untuk dimerger dengan BTN Syariah.
“Dalam aksi korporasi seperti akuisisi-merger ini memang dibutuhkan kajian dan analisis yang mengedepankan asas kehati-hatian. Termasuk, proses due dilligance yang dilakukan,” jelasnya.
Menurut Herman, salah satu hal yang paling penting dalam proses akuisisi dan merger adalah, kedua belah pihak harus memiliki kesesuaian terkait strategi bisnis, nilai perusahaan hingga kesesuaian budaya, serta visi antar-entitas yang berbeda.