Benny mengatakan, korupsi politik yang terjadi dalam sistem pemilu seperti ini sangat ganas.
Ia memberi contoh, antara lain perburuan politik rente, pencucian uang, dana aspirasi, dan menjual suara dalam pengambilan keputusan di lembaga legislatif oleh pejabat publik hasil pemilu, termasuk klientelisme dan jual-beli suara antara calon/petahana dan pemilih. “Jadi sistem pemilu proporsional terbuka perlu dievaluasi sebab peserta pemilu menurut UUD 1945 adalah partai politik,” ucapnya.
Meski demikian, kata Benny, keberadaan partai perlu dibenahi secara revolusioner. ”Misalnya, dalam penentuan calon legislatif dan kepala daerah dilakukan secara demokratis dan akuntabel, bukan ditentukan elit,” terangnya.
Kuatnya restu petinggi partai dalam mengusulkan calon legislatif dan kepala daerah semakin menegaskan ada yang keliru, proses demokrasi dalam partai. Proses pengambilan keputusan di dalam partai cenderung didominasi sekelompok elite yang merasa memiliki partai. “Cara-cara transaksi politik seperti ini jelas menafikan hakikat demokrasi yang melibatkan partisipasi masyarakat. Problematika ini perlu diatur dalam RUU Penyelenggaran Pemilu,” pungkas alumnus Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI ini.
Komentari tentang post ini