Puisi pendek ini patut dikenang:Apalah arti hidup ini jika, penuh kekhawatiran, Kita tak punya waktu untuk berdiri dan menatap.
Tak ada waktu untuk berdiri di bawah dahan Dan menatap selama domba atau sapi.
Tak ada waktu untuk melihat, saat kita melewati hutan, Tempat tupai menyembunyikan kacangnya di rerumputan.
Tak ada waktu untuk melihat, di siang bolong, Sungai-sungai penuh bintang, bagai langit di malam hari.
Tak ada waktu untuk menoleh pada tatapan Si Cantik, Dan memperhatikan kakinya, bagaimana ia menari.
Tak ada waktu untuk menunggu hingga mulutnya dapat Memperkaya senyum yang dimulai oleh matanya.
Hidup yang malang ini, penuh dengan kekhawatiran, kita tak punya waktu untuk berdiri dan menatap.
Seperti yang ditegaskan Davies, kita butuh waktu untuk berdiri dan menatap, serta ‘merasa tersesat’—merasa tersesat dalam keagungan alam, dan juga merasa tersesat dalam keindahan alam yang ‘biasa’!
Di dekat komunitas kami terdapat sebuah kanal yang air sungainya sesekali mengalir ketika Dinas Air melepaskan air untuk irigasi.
Ketika air seperti itu mengalir, sungguh indah melihat keluarga-keluarga berpiknik.
Ini bukan tempat piknik biasa, tetapi orang-orang sederhana ini menemukan keindahan dalam aliran air yang biasa ini dan mereka merayakan hidup dengan air yang mengalir.













