Oleh : Piki Darma Kristian Pardede, M.Si
Habis Belva terbitlah Taufan, kutipan yang cocok menggambarkan polemik keputusan anak muda di tim milenial Jokowi. Sudah dua anggota Staf Khusus Presiden dari generasi milenial pamit dihadapan publik, yakni Adamas Belva Devara, dan Andi Taufan Garuda Putra mengundurkan diri setelah mendapat kritik dari publik terkait isu konflik kepentingan.
Andi Taufan Garuda Putra akhirnya menyusul mundur dari jabatannya sebagai Staf Khusus Kepresidenan, pendiri dan CEO AMF ini menjelaskan, ia tak ingin polemik seputar dirinya berkepanjangan dan membebani Presiden Jokowi.
Polemik ini sebelumnya diawali oleh kontroversi dirinya yang dianggap menyalahgunakan wewenang jabatan yang menyurati para camat se-Indonesia untuk bekerjasama dengan perusahaan miliknya PT. Amartha Mikro Fintek dalam program Relawan Desa Lawan COVID-19 untuk dijalankan di Sulawesi dan Sumatera.
Namun ada cerita berbeda seperti halnya Belva, Adamas Belva Devara memilih mundur lebih awal ketimbang Taufan yang juga menjabat Stafsus Milenial Presiden, yang dinilai memiliki konflik kepentingan dengan ditunjuknya Ruangguru sebagai fasilitator dalam program Kartu Pra Kerja.
Apa yang didalam pikiran Belva? Setidaknya saya mengapresiasi sportifitas Belva atas sikapnya untuk mundur. Lalu bagaimana dengan Taufan?
Taufan sepertinya tak se-sportif Belva dalam menanggapi keluhan publik, pun baginya surat permintaan maaf sudah mewakili perasaan bersalahnya kepada publik. Bagi saya itu tidak cukup. Melihat respon beberapa kalangan yang merasa sangat tidak simpatik melihat langkah para stafsus melenial Presiden yang memperlihatkan arogansi sebagai orang yang memiliki jabatan publik yang sentral.
Saya mencoba menggambarkan squad milenial jokowi ini dalam tubuh tim sepakbola, dimana dimenit awal para pemain sangat antusias menikmati jalannya pertandingan.
Namun saat berada di ruang ganti antar pemain saling bernego menciptakan peluang dan strategi untuk melanjutkan pertandingan, sayangnya sikap pongah dan arogansi membuat salah satu diantara mereka blunder dan akhirnya tim pun cacat.
Siapalah yang salah? Apakah Jokowi sebagai manager tim tidak melihat ada gelojak saat diruang ganti? Atau terlalu mempercayakan jalannya pertandingan kepada anak asuh nya? Jelas, manager dan anak asuh sama-sama blunder.
Mundur lagi kebelakang, 21 November 2019 Presiden Jokowi masih dengan gaung “Revolusi Mental” nya memperkenalkan stafsus milenial dari latar belakang yang berbeda-beda, tentunya kapasitas dan jam terbang di perusahaan rintisan masing-masing menjadi alasan anak-anak muda tersebut ditunjuk.
Tapi sebagai teman diskusi presiden sudah tentu barang yang utama adalah integritas selain pendidikan dan pengalaman. Belum tentu stafsus memiliki pendidikan akan memiliki pemahaman dan integritas.
Buktinya Andi Taufan Garuda Putra dikecam karena menyalahgunakan wewenang jabatan sebagai stafsus yang tidak punya kewenangan struktural di pemerintahan yang meminta dukungan dengan menggunakan Kop surat sekretariat kabinet. Jelas akan berpotensi melakukan maladministrasi potensi konflik kepentingan dengan menyalahi prosedur birokrasi.
Komentari tentang post ini