NEW YORK – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengajak dunia internasional untuk bersama-sama melakukan pengelolaan air, baik dalam skala global, regional, nasional, hingga lokal untuk mencegah krisis air.
Menurutnya, krisis air juga berkaitan dengan dampak perubahan iklim, yang diperparah dengan kerusakan lingkungan.
Maka dari itu, kata dia, langkah-langkah nyata untuk mewujudkan keadilan dalam mengakses air bersih, mutlak perlu terus dilakukan.
Hal tersebut disampaikan Dwikorita dalam pidatonya bersama Presiden Majelis Umum PBB, pada High Level Event “Celebrating World Water Day 2024: Converging Efforts, Keeping the Momentum of Progress” di Markas PPB, New York, AS, Minggu (24/3/2024).
Dalam acara tersebut Dwikorita juga didaulat menjadi panelis pada Sesi Ke-2, yang membahas “Highlight of Key-Priorities: From 2023, to 2024 and Beyond”.
“Pengelolaan sumber daya air harus dilakukan secara berkelanjutan, menyeluruh dari hulu dan hilir sebagai sebuah satu kesatuan perencanaan yang bersifat berkalanjutan, adil, dan merata. Langkah ini merupakan salah satu bentuk upaya konkrit dan serius untuk mengatasi kemiskinan, ketahanan pangan dan energi, serta konservasi sumber daya alam,” paparnya dalam siaran pers.
Ditegaskan Dwikorita, poin-poin penting yang dihasilkan dari UN Water Conference 2023 harus diterapkan dan diwujudkan dalam langkah nyata melalui berbagai platform global termasuk melalui World Water Forum ke10 yang akan diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia bersama Konsil Air Dunia, di Bali bulan Mei yang akan datang.
Pada kesempatan ini Dwikorita juga mengundang para peserta untuk hadir dan berkontribusi aktif pada WWF-10 tersebut.
Dwikorita mengungkapkan, lebih dari 2 miliar orang tinggal di bawah tekanan karena masalah air, dan 3,6 miliar orang menghadapi akses air yang tidak memadai setidaknya satu bulan dalam setahun.
Kondisi ini, kata dia, tidak terlepas akibat pemanasan global akibat perubahan iklim yang diperparah oleh aktivitas manusia yang merusak lingkungan.
Maka dari itu, keterkaitan antara air, iklim, pengelolaan lingkungan dan transformasi gaya hidup untuk selalu menjaga alam, harus menjadi dasar kebijakan penanganan persoalan pengelolaan air global.
Persoalan air, lanjut Dwikorita, tidak hanya tentang ketersediaan jumlahnya dan aksesibilitasnya saja, namun juga dari segi kualitasnya, terutama yang terkait dengan sanitasi dan aspek higieniknya.
Hal tersebut perlu menjadi perhatian bersama karena ketersediaan air bersih berkualitas sangat berkaitan erat dengan upaya penghapusan kemiskinan, penghapusan kelaparan, kesehatan yang baik, sanitasi, energi bersih, pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan dan ketidaksetaraan, hingga upaya perwujudan keadilan dan perdamaian.
“Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam Game Changer no.1 Konferensi Air PBB 2023. Krisis iklim berdampak besar terhadap berbagai bidang kehidupan karena efeknya kemana-mana,” ujarnya.
World Meteorological Organization (WMO), kata Dwikorita, dalam laporannya menyebut bahwa pemanasan global sedang berlangsung dengan cepat.
Diterangkan bahwa Tahun 2023 adalah tahun terpanas yang pernah tercatat, dan berbagai indikator utama iklim juga mencatat rekor yang terpecahkan.
“Persoalan ini harus menjadi perhatian kita bersama, seluruh negara tanpa terkecuali. Jumlah kejadian cuaca ekstrem yang memicu bencana hidro-meteorologi basah dan kekeringan yang makin sering, serta intensitasnya makin meningkat tajam.
Hal ini tentu sangat berbahaya karena mengancam keberlangsungan hidup generasi yang akan datang,” imbuhnya.
Lebih lanjut Dwikorita menegaskan bahwa dampak buruk dari bencana hidrometeorologi ekstrem dapat diredam di setiap negara melalui upaya menjaga lingkungan bersama serta memberikan layanan peringatan dini melalui inisiatif Early Warning for All.
Komentari tentang post ini