JAKARTA-Desakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal kejelasan status Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum dinilai bias dan terkesan tidak bijak.
Dari segi etika politik, desakan itu tidak etis karena cenderung bersifat menekan KPK.
“Ini bias, tidak wise (bijak) jika SBY hanya (berbicara) satu kasus,” kata Koordinator Divisi Politik Indonesian Corruption Watch Ade Irawan di Jakarta, Selasa, (5/2).
Menurut Ade, seharusnya SBY memposisikan dirinya sebagai kepala negara. Sehingga saat berbicara soal kasus korupsi politik, bukan membahas satu kasus saja.
“Kalau pun bicara sebagai presiden, ia tidak bisa bicara khusus. Kalau (ia membahas Anas secara khusus), tentu secara langsung dan tidak langsung itu sama saja tekanan terhadap KPK,” ungkapnya.
Presiden mestinya berperan menghilangkan rintangan yang menjadi penghalang dalam penyelesaian kasus korupsi politik di KPK.
Sebab, kata Ade, KPK membutuhkan peran presiden untuk menghilangkan rintangan-rintangan yang dialami karena umumnya kasus-kasus korupsi politik intervensinya cukup besar terhadap lembaga antikorupsi.
“Peran itu yang seharusnya dilakukan oleh presiden,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengungkapkan pihaknya bekerja secara professional dan ada standar operating precedurnya (SOP).
Hanya saja KPK memang sedang menghadapi keterbatasan SDM terkait kejelasan status Anas ini.
“Kendati KPK dihadang keterbatasan sumber daya, kami percaya KPK dapat segera menyelesaikan kasus yang ditangani, termasuk segera menyelesaikan kasus Anas,” katanya sekaligus menanggapi pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sementara itu, Bambang menyadari KPK memiliki tanggung jawab yang besar untuk menyelesaikan semua kasus, apalagi yang mendapat perhatian publik, termasuk kasus Hambalang.
“KPK menghargai apresiasi, tuntutan, kritikan, konstruktif, lebih-lebih doa dan dukungan publik,” ujar Bambang.
Komentari tentang post ini