“Sehingga kapitalisme digambarkan oleh Soekarno bukan seperti bangunan sebagaimana digambarkan oleh Pak Jokowi saat ini,” kata Hasto.
“Kapitalisme bagi Bung Karno adalah sebagai suatu ide, suatu gagasan yang menghisap yang diterjemahkan dalam suatu struktur politik, ekonomi, sistem sosial, yang menghisap,” ungkap Hasto.
Pemimpin yang mampu berpikir secara intelek itu sangat penting.
Ia mengulas pemikiran modern dari filsuf politik Hannah Arendt yang mengatakan bahwa kekuasaan itu terbentuk bukan dalam diri si aktor, tapi terbentuk oleh suatu ide, gagasan-gagasan kolektif yang membentuknya.
Sehingga, lanjut Hasto, ketika aktor ini melepaskan diri dari ide pemikiran yang membentuknya , maka kekuasaan yang dilakukan itu cenderung melakukan kekerasan.
Contohnya adalah kekerasan di dalam hukum seperti manipulasi di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Karena seorang yang memegang aktor kekuasaan itu melupakan ide, gagasan, dan cita-cita yang mengkonstruksikannya sehingga dia memerlukan justifikasi. misalnya untuk pemindahan IKN dikatakan justifikasinya adalah untuk membentuk mindset yang baru, mindset apa?“ tanya Hasto.
Hasto juga menyesalkan jika buku ‘Merahnya Ajaran Bung Karno’ terlambat terbit.
Sehingga tidak sempat dibaca oleh Presiden Jokowi.