JAKARTA-Data-data ketersediaan perberasan nasional kerap dimanipulasi oleh pemerintah, sehingga berakibat fatal pada kebijakan perberasan yang salah kaprah. Indikasi ketidakakuratan data itu tercermin dari pernyatan pemerintah yang mengklaim surplus beras, tapi faktanya malah terjadi lonjakan harga beras yang tinggi. “Selama ini beras belum pernah dianggap sebagai komoditas strategis, tidak seperti minyak yang sangat diatur. Sehingga terjadi ketimpangan dalam hal kebijakan perberasan,” cetus Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Sadar Subagyo, di Jakarta, Minggu (24/4).
Selama ini jelas Sadar, pemerintah hanya mengurusi proses benih sampai menjadi gabah, sehingga ada insentif kredit dan subsidi lainnya. Tapi ketika proses gabah ke beras, negara tidak hadir. Padahal, seharusnya negara hadir juga. Karena di sini yang dapat mendongkrak kesejahteraan petani.
Kebijakan yang salah ini karena memang data yang dikantongi pemerintah itu sudah salah dari awal.
Dia menegaskan, beberapa tahun lalu, pemerintah pernah merilis konsumsi beras sebanyak 139 kilogram per kapita per tahun, tapi kemudian setelah dikritisi dan diselenggarakan survey ekonomi nasional diubah hanya 87 kg per kapita.”Angka itu sama dengan negara lain seperti Thailand atau Vietnam. Namun kemudian datanya nerubah lagi menjadi 114 kg per kapita. Lucunya, beras-beras yang ada hotel, hang dijual di rumah makan dan yang dijual nasi goreng juga ikut disurvey,” tegasnya.
Komentari tentang post ini