Oleh karenanya, segala bentuk tuduhan atau dugaan pelanggaran terhadap penyelenggaraan Pemilu yang ditemukan oleh pihak manapun berada di ranah otoritas pengawas Pemilu, yakni Bawaslu RI.
Apabila tuduhan atau dugaan pelanggaran terhadap penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh pihak Penyelenggara Pemilu, KPU atau Bawaslu, maka dilaporkan kepada DKPP.
Hanya dugaan tindak pidana murni di luar konteks kegiatan sosialisasi dan kampanye Pemilu yang dapat dilaporkan kepada pihak Kepolisian secara langsung. Kasus-kasus yang dilaporkan di atas bukanlah perbuatan pidana murni.
Laporan Polisi terhadap kegiatan sosialisasi dan kampanye Pemilu jelas bermasalah, baik secara formil maupun materiil.
Pertama,pasal-pasal karet yang diambil dari UU ITE dan KUHP merupakan pasal-pasal yang kerap dipakai membungkam suara yang kritis dari aktivis, jurnalis dan lawan politik penguasa, khususnya rezim pemerintahan Joko Widodo.
Sebut saja kasus Fatia Maulidyanti dan Haris Azhar, Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Rocky Gerung, serta banyak aktivis lain yang telah menjadi korban.
Kedua,para pelapor tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) yang tepat sebagai korban atau mengalami kerugian, namun tetap diproses oleh Kepolisian hingga naik status Penyidikan seperti Kasus Aulia dan Aiman.
Secara substantif pun, apa yang disampaikan Aulia merupakan materi hiburan lawakan yang bukan penghinaan/penodaan agama, dan kritik oleh Aiman terhadap netralitas Polisi yang telah dibahas oleh Komisi III DPR-RI secara terbuka.
Ketiga, baik dari indikator pelapor, terlapor maupun materi yang dilaporkan ke kepolisian jelas menimbulkan masalah obyektivitas dan independensi Kepolisian yang menerima dan memeriksa laporan.
Para pelapor rata-rata merupakan pendukung Paslon 02 yang terafiliasi dengan kekuasaan Presiden yang membawahi Kepolisian.
Cawapres 02 adalah anak kandung Presiden.
Komentari tentang post ini