Menurut Arifin, konsekuensi adanya pasal itu keuangan negara tidak hanya dimaknai sebagai semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang.
“Akan tetapi dimaknai sebagai semua hak negara yang bersumber dan diperoleh negara tanpa memperhatikan faktor kewajiban dan resiko yang akan membahayakan keuangan negara,” tambahnya.
Pemohon sebagai badan hukum yang anggotanya berprofesi dosen menganggap pasal itu berpotensi menjadikan APBN tidak digunakan untuk kepentingan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, khususnya melalui peningkatan penelitian, pengembangan, dan kapasitas pendidikan.
“Tetapi itu digunakan untuk kepentingan menutup kerugian atau ketidakpastian pada perusahaan negara/perusahaan daerah atau kegiatan usaha lain yang mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Ini menghalangi strategi negara untuk mencapai tujuan bernegara, mencerdaskan kehidupan bangsa dan kemakmuran rakyat,” kata Arifin.
Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2 huruf g dan i UU Keuangan Negara bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” dan frasa “kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah”.
Komentari tentang post ini