Oleh: Edi Danggur
Hari ini (21/8), Tempo.co menurunkan berita berjudul: “DPR Tolak Putusan MK Tentang Syarat Usia Calon Kepala Daerah”.
Putusan MK dimaksud adalah Putusan No.70/PUU-XXII/2024 tanggal 20 Agustus 2024 tentang syarat usia calon dihitung saat penetapan pasangan calon di Pilkada.
Mengapa putusan MK itu jadi bahan polemik di DPR? Apakah ada alasan hukum bagi DPR untuk menolak berlakunya Putusan MK
Kaesang Patut Diduga Sebagai Sumber Polemik
Ada anggapan bahwa Kaesang Pangarep adalah sumber masalah. Ia diduga akan menjadi salah satu calon wakil gubernur di arena pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkadal) di DKI Jakarta pada bulan November 2024 mendatang.
Saat ini Kaesang baru berusia 29 tahun. Dengan demikian pada saat penetapan calon gubernur dan calon wakil gubernur, ia dinyatakan tidak memenuhi syarat dari segi usia. Sebab UU mensyaratkan usia calon minimal 30 tahun saat penetapan.
Tiba-tiba ada Putusan MA No.23 P/HUM/2024 tanggal 4 Juni 2024. Isinya, syarat usia calon minimal 30 tahun ditentukan pada saat pelantikan. Putusan MA ini dianggap memberi karpet merah bagi Kaesang, putra bungsu Presiden Jokowi itu.
Putusan MK sebaliknya, justru dianggap menghambat laju Kaesang, sang Ketua Umum PSI itu di pilgub DKI November 2024. Sebab usianya belum mencapai 30 tahun saat penetapan di KPU.
Polemik diantara anggota DPR di Senayan pun sulit dihindari. Anggota DPR RI dari partai yang diduga mengusung Kaesang di Pilkada DKI Jakarta berpegang teguh pada putusan MA.
Anggota DPR RI dari partai lainnya justru berpendirian sebaliknya. Mereka memilih Putusan MK sebagai acuan dalam penentuan usia saat penetapan dan bukan saat pelantikan.
Baleg DPR RI menilai Putusan MK tersebut bertentangan dengan Putusan MA No.23 P/HUM/2024. Sikap Baleg DPR RI ini tentu saja merupakan angin segar bagi Kaesang (Kompas.com, 21/8/2024).
DPR Harus Tunduk Pada Putusan MK
Bagaimana seharusnya DPR bersikap dengan adanya Putusan MK tersebut? DPR tidak boleh menolak Putusan MK. DPR justru harus menjadi contoh bagi masyarakat luas untuk tunduk dan taat pada Putusan MK tersebut.
Prinsip dan dasar yang menjadi alasan bagi DPR untuk lebih memilih tunduk dan taat pada putusan MK adalah:
Pertama, putusan MK bersifat erga omnes. Istilah erga omnes diambil dari Bahasa Latin, yang dalam bahasa Inggeris: towards everyone or towards all, secara harafiah berarti kepada semua, menuju semua atau terhadap semua atau terhadap setiap orang (K.Prent CM, 1969:289).
Sifat erga omnes ini yang membedakan putusan MK dengan putusan dalam perkara perdata di badan peradilan umum, yang bersifat inter partes, artinya: hanya mengikat pihak-pihak yang berperkara saja.
Secara teknis hukum, sifat erga omnes dari sebuah putusan MK berarti mengikat setiap orang, semua warganegara dan semua lembaga negara baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, tanpa ada yang dikecualikan, termasuk anggota DPR sekalipun.
Tunduknya semua anggota DPR dan partai mereka terhadap Putusan MK bersifat tanpa syarat. Tidak tergantung pada persetujuan DPR. Tidak juga tergantung pada keputusan pejabat berwenang, apalagi sekedar Peraturan KPU.
Sifat erga omnes Putusan MK bersumber pada ketentuan UU No. 8/2011 tentang Perubahan UU No.24/2003 tentang MK yaitu Pasal 10 ayat (1) berikut penjelasannya.
“Putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK dalam UU ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)”.
Kedua, dalam putusan MK melekat sifat res judicata pro veritate accipitur. Dalam bahasa Inggeris: a matter adjudged is taken for truth or a matter decided or passed upon by a court of competent jurisdiction is received as evidence of truth (Henry Campbell Black, 1990:1310.
Itu berarti suatu perkara yang sudah diputuskan oleh pengadilan yang kompeten harus dianggap sebagai suatu kebenaran. Dengan demikian, salinan putusan yang sudah bersifat final dan mengikat itu harus diterima pula sebagai bukti kebenarannya.
Dengan melekat anggapan hukum adanya kebenaran dalam putusan MK itu maka tidak ada celah atau ruang bagi anggota DPR untuk menilai atau mempersoalkan, apalagi menolak putusan MK tersebut.
Memulihkan Citra Negara Hukum
Para pendiri negara kita sepakat bahwa negara yang kita bangun adalah negara hukum. Artinya, segala persoalan dan silang sengketa dalam hidup bermasyarakat dan bernegara harus diselesaikan oleh pemegang otoritas hukum yang sah.
Dalam negara hukum tidak ada lagi tempat bagi penyelesaian sengketa dengan adu otot atau kekerasan antara para pihak, antara kelompok dalam masyarakat, saling pamer kuasa, dan tidak ada lagi tempat bagi penyelesaian perkara berdasarkan rasa suka atau benci, like or dislike.
Masdar Farid Mas’ud memuji karakter negara hukum seperti itu, yang mampu mengangkat citra sebuah negara sebagai “negara beradab, negara yang dikelola dengan akal budi manusiawi, bukan oleh nafsu kebinatangan” (2013:69).
Dalam menegakkan negara hukum, kita pecaya bahwa Hakimn MK adalah para negarawan yang berintegritas dan kompeten dalam bidang hukum. Curia novit ius, hakim dianggap tahu hukum.
Ketika ada perbedaan penafsiran terhadap UU maka MK sebagai penafsir tunggal konstitusi diberi peran seluas-luasnya untuk memutuskan soal penerapan usia para calon kepala daerah.
Mari kita jadikan Putusan MK ini sebagai momentum untuk memulihkan citra kita sebagai negara hukum. Jangan biarkan DPR membangkang terhadap pengadilan.
Jika DPR tetap ngotot menolak Putusan MK, maka DPR justru memberi contoh buruk kepada masyarakat untuk tidak taat hukum. Jangan biarkan DPR kita jalan sendiri, jangan biarkan DPR merusak citra kita sebagai negara hukum.
Penulis adalah Praktisi Hukum, Tinggal di Jakarta
Komentari tentang post ini