JAKARTA – Orientasi DPR dalam pembahasan dan pembuatan Undang-Undang selalu mengedepankan faktor kualitas, artinya bukan semata-mata kuantitas.
Karena DPR tak ingin UU yang baru disahkan, kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Contohnya, UU Perkoperasian, kenyataannya istilah sertifikat modal koperasi (SMK) tidak dikenal. Sehigga koperasi menjadi “banci” akhirnya dibatalkan seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi,” kata anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno dalam Forum Legislasi dengan thema “Empat RUU Rampung Sesuai Target?’ bersama Ketua Baleg Supratman Andi Agtas dan Pengamat Direktur Eksekutif Indonesia Political Riview, Ujang Komarudin di Jakarta, Selasa (5/3/2019)
Oleh karena itu, kata guru besar FEUI, kalau memang UU Perkoperasian terpaksa disahkan oleh DPR dan pemerintah, maka akan mengandung resiko.
“Nasib koperasi akan seperti sekarang ini. Berarti kita membuat Undang-Undang yang tidak bisa dijalankan lagi,” tambahnya.
Padahal, lanjut Hendrawan, DPR ingin menghasilkan UU yang memiliki dampak menyejahteraan rakyat. Namun kenyataan lapangan justru sebaliknya.
“Contoh lagi, UU Resi Gudang. Semangat sangat luar biasa untuk melindungi petani dan meningkatkan pendapatan. Tapi gudang gudang yang dibuat ternyata bermasalah. Bahkan sebagian fasilitasnya memburuk , malah ada yang sudah kebanjiran,” paparnya.
Didesak apakah lambat penyelesaian UU karena faktor koordinasi, Hendrawan menjelaskan baik pemerintah maupu DPR sama-sama menghadapi masalah koordinasi.
“Kita ditakdirkan untuk memecahkan masalah-masalah berat. Sebab, kalau ditakdirkan untuk memecahkan masalah-masalah ringan, maka tidak ada nilainya,” terangnya
Dikatakan Hendrawan, target RUU yang disampaikan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo di paripurna DPR pada Senin (4/3) lalu itu terlalu berani dan memiliki resiko yang besar.
Alasannya, pembahasan RUU ASN, RUU Larangan Minuman Beralkohol, RUU Pertambakauan, RUU Perkoperasian dan lain-lain juga tergantung pada koordinasi dengan pemerintah.
“RUU Pertembakauan dan RUU Perkoperasian oleh Komisi 11 DPR misalnya, tapi menteri perdagangan tidak pernah hadir, bagaimana?” imbuhnya
Sementara itu, Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman Andi Atgas mengatakan selesainya sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) bukan saja menjadi tanggungjawab DPR RI, tapi juga pemerintah.
Karena kewenangan itu bersifat fifty-fifty (50:50), yang 50 persen ada di DPR dan 50 persen di pemerintah.
Sehingga kedua lembaga ini harus kompak dalam membahas RUU.
“Kalau sama-sama bertanggungjawab, maka RUU yang dihasilkan akan lebih baik. Sebaliknya, jika tidak kompak, bukan saja secara kualitas, namun secara kuantitas pun tak akan tercapai dari Prolegnas yang ditargetkan,” ujarnya
Dengan anggaran yang besar lanjut politisi Gerindra itu, seharusnya pembahasan sebuah RUU harus lebih serius hingga selesai.
Komentari tentang post ini