Di AS, menurut Fahri kata Bully bermakna positif. Bahkan, orang yang memiliki mimbar harus punya kesadaran untuk meyakinkan bangsanya. “Itulah yang setiap hari dilakukan presiden Amerika sehingga mereka bisa meyakinkan bangsa besar untuk berubah,” katanya.
Dalam tradisi presidensialisme Amerika, Fahri sebut ada menteri urusan media (Press Secretary) yang saban hari masuk TV dan bicara. Dan menteri dimaksud, tugasnya melayani media sampai puas dan nggak ada pertanyaan lagi. Supaya utuh pesannya. “Jadi baik presiden maupun juru bicaranya sangat aktif bahkan agresif untuk bicara. Karena bicara adalah kewajiban utama,” jelasnya.
Tetapi di tempat Indonesia, Fahri melihat pemimpin yang banyak bicara dianggap kurang baik reputasinya. “Dianggap nggak kerja alias ‘ngomong doang’. Lalu, presiden kita pun menganggap banyak bicara nggak bagus. Semboyannya kerja.. kerja.. kerja…,” bebernya.
Sayangnya, presiden lupa bahwa dalam kapasitas sebagai presiden dari negara berpenduduk besar dan tersebar, bicara itu utama. “Bangsa ini terbentuk karena pidato. Solidaritas sebagai bangsa kita dibangun melalui narasi yang mengalir dari lidah pemimpin,” ujarnya mengingatkan.
Komentari tentang post ini