JAKARTA-Pengamat ekonomi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Salamuddin Daeng mengatakan Indonesia terancam menjadi negara gagal karena pembangunan perekonomian menghasilkan ketimpangan yang luar biasa besarnya. Indikasinya terlihat dari pertumbuhan kelas menengah yang sangat tinggi, tetapi sisi lain angka kemiskinan tumbuh berlipat ganda. “Saat ini lebih dari 51 ribu orang terdata memiliki tabungan di bank diatas 5 miliar rupiah, namun lebih dari 110 juta penduduk berpendapatan dibawah 2 dollar AS PPP,” jelas Daeng di Jakarta, Kamis (27/6).
Menurut dia, kenaikan harga-harga akibat kenaikan BBM semakin memperparah ketimpangan, yang berpotensi memicu konflik sosial yang luas. Sementara sebagian besar pendapatan klas menengah dialokasikan untuk membeli barang impor sehingga semakin memperlemah proses pemerataan pendapatan secara nasional.
Saat ini kata dia, Indonesia menghadapi dua masalah tetkait GDP. Dari sudut padang output /pendapatan GDP Indonesia dibentuk oleh segelintir korporasi besar modal asing. PDB Papua misalnya sebagian besar dikontribusikan oleh Freeport.
Demikian juga dengan PDB Nusa Tenggara Barat yang sebagian besar dikontribusikan oleh Newmont. “Atau PDB Kaltim yang sebagian besar dikontrtibusikan oleh segelintir perusahaan mineral, batubara dan migas,” urai dia.
Struktur PDB semacam ini jelas dia sama sekali tidak mencerminkan kesejahteraan rakyat, sehingga tidak dapat menjadi alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Selain itu, PDB seperti ini tidak dapat digunakan untuk mengukur kemajuan pembangunan nasional.
Sementara itu, lanjut dia dari sudut pandang pengeluaran, PDB Indonesia dibentuk oleh konsumsi yang dibiayai oleh kredit konsumsi bukan pendapatan yang bersumber dari nilai tambah atau produktifitas nasional. Akibatnya PDB mewariskan beban utang.
Secara keseluruhan kata dia utang yang terbentuk dalam ekonomi Indonesia saat ini sedikitnya 6000 triliun rupiah yang terdiri dari utang luar negeri pemerintah dan swasta, utang dalam negeri pemerintah dan swasta, utang publik. Dengan demikian PDB tidak mencerminkan gambaran peningkatan pendapatan masyarakat, namun peningkatan utang masyarakat. “Kedua faktor tersebut menyimpulkan bahwa upaya mendoromg peningkatan PDB dengan struktur PDB yang didominasi korporasi swasta dan asing justru akan meningkatkan kerentanan ekono pada krisis dan konflik sosial,” pungkas dia.
Komentari tentang post ini