Lantas dengan gaya seperti ini kita rela menyerahkan nasib 260 juta rakyat Indonesia?
Gibran ini lah yang jadi mimpi buruk bangsa. Para budayawan akhirnya berdiri dari kursi karyanya, para rohaniawan keluar dari masjid, gereja, vihara, pura dan ruang-ruang ibadahnya.
Para akademisi menggalang kekuatan, keluar kampus untuk melawannya.
Mahasiswa berdiri bersama menggugat pencalonannya.
Para sesepuh bangsa berbicara lantang menolak pencalonannya.
Mereka menyesalkan atas pencalonan Gibran yang menabrak konstitusi dan merekayasa kemampuannya.
Mereka semua adalah para tokoh bangsa yang tidak lagi ingin jabatan dan kuasa, tapi juga tidak rela Indonesia dibawa kembali kemasa orba.
Seandainya para pimpinan partai pengusung tidak dipaksa pak lurah untuk mencalonkan anaknya.
Seandainya juga tidak ada politik sandera oleh pak lurah.
Mungkin wapresnya adalah Airlangga yang kaya pengalaman di legislatif dan eksekutif, atau AHY yang lugas dalam bicara, atau bahkan mungkin Erick Tohir yang punya reputasi internasional.
Mereka bertiga bukan tandingan Gibran dalam kemampuan memimpin, jaringan, pengalaman, reputasi dan kemampuan.
Akibatnya, baru seminggu masa kampanye, kesalahan demi kesalahan telah dilakukan oleh Gibran. Hal itu membuka pintu semesta bahwa keangkuhan akan menemukan liang kuburnya.
Kampanye masih 10 minggu lagi, tapi Gibran telah jadi bubur.
Diaduk semua kalangan. Sudah hancur diaduk terus sampai halus hingga tidak ada lagi kesombongan dalam dirinya.
Kata Franz Magnis Suseno bahwa “pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi mencegah yang jahat berkuasa.
Penulis adalah Humas Gerakan Aktivis 98 (GERAK 98) di Jakarta