Bahkan ke depannya jika memungkinkan buka 24 jam dengan menyediakan petugas piket. Hal ini penting karena perpustakaan selama ini buka pagi dan tutup jam 16.00 sore.
Sehingga banyak masyarakat yang bekerja dan tak sempat ke perpustakaan meminjam buku pada pagi dan sore hari bisa datang di malam hari.
Di sini kita perlu merubah image perpustakaan menjadi tempat meeting poing (titik kumpul) orang-orang dalam suasana santai saat kapan pun, baik pagi, siang maupun malam.
Sehingga wajah perpustakaan pun harus dilengkapi dengan menyediakan pojok kafe, kuliner, dan musik room.
Tentu utamanya adalah dimanfaatkan masyarakat umum, para peneliti, para pencari inspirasi lewat buku, para pencari tempat santai alternatif, termasuk para mahasiswa yang sedang menghadapi tugas, untuk membaca dan mencari referensi di perpustakaan pada malam hari.
Jika gedung-gedung perpustakaan bisa disulap dengan aneka aktifitas seperti itu termasuk di malam hari, maka itulah langkah menjadikan perpustakaan sebagai salah satu “meeting point” sekaligus pusat kebudayaan yang geliat kehidupan dan kemanfaatannya terasa sepanjang hari.
Keempat, mendirikan dan memperbanyak sudut-sudut baca yang menyediakan buku-buku dan aneka bacaan untuk dibaca masyarakat umum sambil menunggu waktu di terminal-terminal, bandara-bandara, mal-mal, shelter-shelter busway dan sebagainya.
Sebenarnya untuk saat ini dari segi animo masyarakat Jakarta untuk membaca buku, saya lihat cukup memberikan harapan.
Meski harus terus digenjot ke titik yang lebih menggembirakan lagi. Animo masyarakat itu bisa terlihat lewat diantara:
Pertama, terus eksis dan tumbuhnya TBM-TBM yang tersebar di pelosok-pelosok kampung di Jakarta dalam melayani masyarakat dan anak-anak di tingkat akar rumput pada akses terhadap bahan bacaan. TBM-TBM yang ada itu tak sekedar menjadi tempat membaca dan meminjam buku. Tapi juga menjadi tempat masyarakat dan anak-anak bermain, berlatih keterampilan tertentu, dan mengasah nilai-nilai persahabatan. Bahkan tak jarang menjadi tempat pertama bagi anak batita di daerah itu mengenal aksara yang mungkin tak sempat diajari orangtuanya.
Para pendiri dan pengelola TBM-TBM itulah sesungguh diantara para pejuang literasi yang berada di fron terdepan.
Mereka berjuang sekuat tenaga dengan segala keterbatasannya, untuk tetap menjaga atmosfir agar minat masyarakat dan anak-anak terhadap buku bisa ditumbuhkan dan tingkatkan. TBM-TBM melakukan itu di tengah serbuan ganas budaya hedon yang terus berusaha mentorpedo minat masyarakat dan anak-anak pada buku.