JAKARTA-Pembayaran subsidi bunga obligasi rekapitalisasi perbankan ibarat pemberian sedekah orang miskin kepada konglomerat.
Betapa tidak, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang seharusnya dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat justru dipakai mensubsidi bank milik pengusaha hitam.
Akibatnya, rakyat pembayar pajak semakin tertindas, sementara para bankir terus berpesta pora.
Strategi pembiayaan ekonomi pemerintah selama ini ternyata melahirkan ketidakadilan. Dana APBN yang seharusnya dikembalikan kepada rakyat, justru dipakai mensubsidi bank-bank yang sudah meraup untung triliunan rupiah.
Rakyat kecil dianaktirikan, sementara, para bankir yang menyulut krisis ekonomi 1998 lalu justru dimanjakan dengan fasilitas yang diperoleh dari APBN.
Bayangkan saja, sampai saat ini, pemerintah harus membayar Rp 60 triliun per tahun untuk subsidi bunga obligasi rekapitalisasi yang diterbitkan guna mem-bailout bank.
Beban utang konglomerat nakal ini kemudian direkayasa agar masuk beban APBN dalam skema pembayaran bunga oblikasi rekap hingga surat utang itu jatuh tempo 2033, kemudian diperpanjang lagi hingga tahun 2043.
Rakyat dipaksa harus membayar pokok obligasi saat jatuh tempo.
Sejumlah fakta mengkonfirmasikan bahwa pembayaran subsidi obligasi rekap ini dikategorikan korupsi.
Sayangnya, hingga saat ini skandal BLBI masih jalan di tempat.
Kasus ini terkesan timbul tenggelam karena pihak terkait dari mulai penegak hukum, pihak berwenang hingga penguasa belum ada keseriusan untuk mencari solusi penyelesaian kasus BLBI.
“Jika dulu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga superbody yang disegani dan menakutkan, kini tidak lagi, terbukti dari beberapa kasus praperadilan KPK yang dimenangkan para tersangka,” ujar Sekjen Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Hardjuno Wiwoho di Jakarta, Minggu (17/4).
Bagi Harjuno, sangat tidak masuk akal jika beban utang abadi ribuan triliun rupiah akibat mega skandal BLBI dibebankan kepada rakyat.
Hal ini melukai rasa keadilan karena utang konglomerat itu terjadi akibat kecerobohan sendiri.
Untuk itu, harus distop.
Sekjen Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) ini menilai pembayaran bunga obligasi dari uang pajak sangat tidak adil.
Sebab, ini hanyalah bentuk sedekah APBN kepada bank- bank yang sebenarnya tidak berhak.
“Seharusnya obligasi rekap ini sudah dapat dihentikan dan tidak perlu dianggarkan lagi dalam APBN,” tegasnya.
Dia menilai, kebijakan penerbitan obligasi rekapitalisasi pemerintah sebesar Rp 640 triliun untuk membail out perbankan Indonesia yang collaps tidak tepat.
Justru fasilitas bail out syarat dengan manipulasi.
“Jadi, ada permainan instrumen kebijakan moneter yang ngawur dengan instrumen BPPN dan kebijakan release and discharge yang didesign Menkeu Boediono waktu itu,” katanya.