Hal ini dikarenakan kesalahan dalam system hukum nasional.
Hal tersebut dikemukakan oleh Rachmi dalam diskusi publik yang diadakan oleh IGJ mengenai “Kontrol Rakyat Atas Pengikatan Indonesia Dalam Perjanjian Pasar Bebas”, Rabu (10/05).
Diskusi publik ini diadakan untuk menyampaikan hasil studi IGJ mengenai tinjauan kritis atas UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
“Perjanjian perdagangan internasional tidak termasuk perjanjian yang harus diratifikasi dengan undang-undang, sehingga kekuasaan absolute pemerintah sangat besar tentang pengikatan Indonesia ke berbagai FTA. Hal inilah yang menyebabkan rakyat sulit melakukan kontrol,” lanjut Rachmi.
Menurut peneliti senior IGJ, Irfan Hutagalung, dalam studi ini disimpulkan bahwa UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional merupakan sumber persoalannya.
“Masalah kriteria perjanjian internasional yang diatur dalam Pasal 10 undang-undang tersebut menyebabkan banyak sekali perjanjian perdagangan internasional yang hanya cukup disahkan dengan peraturan presiden, sehingga fungsi check and balances yang seharusnya dilakukan oleh DPR menjadi hilang,” jelasnya.
Komentari tentang post ini