Berkenaan dengan itu proses pengadilan yang selama ini dilaksanakan dengan menempatkan Ahok di kursi pesakitan, sejatinya hanyalah konsekuensi dari tindakan pemenuhan hasrat politik tersebut.
Peradilan atas Ahok dengan dakwaan penistaan agama, nyata-nyata merupakan instrumen hukum oleh aparat penegak hukum untuk kepentingan politik, atau setidaknya membiarkan hukum menjadi instrumen memenuhi hasrat dan kepentingan politik kerumunan massa jalanan.
Atas dasar itu Setara Institute mendorong dan meyakinkan majelis hakim yang mulia mengoreksi tindakan kepolisian dan kejaksaan tersebut dengan membebaskan terdakwa Ahok dari segala dakwaan sekaligus merehabilitasi nama baik yang bersangkutan.
Sebab secara hukum apabila JPU secara meyakinkan menyatakan Ahok tidak terbukti melanggar pasal 156a KUHP sebagai dakwaan primer, maka sesungguhnya JPU telah gagal membuktikan “mens rea” (niat jahat) Ahok di balik kalimat pendeknya mengenai al-Maidah: 51 dalam pidato panjangnya di Kepulauan Seribu.
“Permainan itu semakin nyata keanehan proses pro justicia kasus Ahok jika tuntutan pasal 156 KUHP dipaksakan, sebab cakupan pasal 156 lebih luas dibanding pasal 156a, sehingga tuntutan JPU semakin tidak tepat, kabur dan abstrak atas tuntutannya itu. Tuntutan JPU yang terkesan “main-main” semakin kuat mengindikasikan bahwa selama ini peneggakan hukum (law enforcement) tunduk pada aspirasi dan tekanan politik “Pokoknya Ahok harus salah”.













