Menurut Hensa, gagasan ini mencerminkan ketidakpuasan Jokowi terhadap dominasi elite partai dalam menentukan arah politik.
“Jokowi sepertinya melihat bahwa keputusan partai politik di Indonesia sering kali hanya ditentukan segelintir elite, bukan melibatkan anggota secara luas. Sistem super terbuka adalah sindiran bahwa partai seharusnya lebih demokratis—dari anggota, untuk anggota, dan terbuka bagi siapa saja,” papar Hensa.
Selain itu, Hensa menyoroti pernyataan Jokowi dalam pidato di HUT ke-17 Partai Gerindra, di mana ia menyebut tidak ada satu pihak pun yang berani mengkritik Presiden Prabowo Subianto.
Jokowi bahkan menyebut Prabowo sebagai presiden terkuat saat ini.
“Kalau Jokowi sampai bilang tak ada yang berani mengkritik Prabowo, ini artinya apa? Ini kritik kepada para aktivis demokrasi dan partai politik di DPR yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan,” tegas Hensa.
Hensa menilai, pernyataan tersebut menunjukkan adanya kelemahan dalam mekanisme checks and balances di sistem demokrasi Indonesia saat ini.