Yakni saat pemilu 1992, di mana saat itu pada masa kampanye, ada salah satu parpol yang mendapatkan waktu untuk berkampanye di satu tempat tapi ternyata oleh penguasa izin kampanye di tempat itu dicabut.
Sehingga parpol tersebut tidak bisa berkampanye.
“Saat itu ramai teriakan orang orang yang menyuarakan bahwa pemerintah ora adil yang diwujudkan dengan simbol warna putih yang artinya golput,” kata Hensat.
Namun, kata Hensat, untuk kondisi saat ini tidak tepat kalau untuk menyuarakan ketidakadilan dengan mengajak masyarakat untuk golput di pemilu.
Justru masyarakat harus menggunakan hak pilihnya agar penguasa yang ingin terus menerus berkuasa tidak menang dalam pemilu.
“Saya sarankan kampanye dengan menggunakan satu simbol warna yang mencerminkan bahwa rakyat tidak menginginkan adanya kecurangan dan pemilu dan pilpres 2024,” kata Hensat.
Dalam gerakan massa menolak kecurangan pemilu, kata Hensat, paslon capres dan cawapres yang bisa dirugikan harus melibatkan penguasa negeri ini yaitu mengajak rakyat untuk lantang bersuara tolak kecurangan pemilu 2024.
Menyinggung soal apa bahayanya kalau pemilu berlangsung curang, Hensat menjelaskan, sebetulnya perjuangan reformasi itu pembatasan kekuasaan.
Sedangkan yang terjadi saat ini arahnya memang mengarah ke penguasa yang ingin terus menerus berkuasa.
“Ini fenomena nepo baby, di mana anak-anak yang punya previlege mendapatkan akses tanpa melalui sebuah proses. Kondisi ini menurunkan semangat anak-anak muda yang sebetulnya berprestasi dan punya nilai juang proses dalam mencapai satu posisi,” kata Hensat.
Komentari tentang post ini