BANDUNG-Kontribusi sawit terhadap perekonomian nasional akan meningkat berkali-kali lipat lewat hilirisasi.
Dengan penggunaan teknologi terbaru, replanting hingga diatur oleh satu badan, bisnis sawit pada tahun 2028 bisa mencapai USD107,02 miliar atau sekitar Rp15 ribu triliun.
Hal tersebut mengemuka dalam Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit bertemakan “Perkembangan dan Kontribusi Industri Hilir Sawit Bagi Perekonomian Indonesia” diselenggarakan oleh Majalah Sawit Indonesia pada 31 Januari – 2 Februari 2024 di Bandung, Jawa Barat.
Ketua Pelaksana Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit, Qayuum Amri mengatakan bahwa hilirisasi sawit bukan hanya minyak goreng dan mentega saja.
Tetapi juga bisa menghasilkan kosmetik, skincare, lipstick, hingga bio energi.
“Dengan diskusi ini, teman-teman media bisa nanti mengetahui industri hilir sawit sudah sejauh mana dalam 2-3 tahun terakhir ini,” ujarnya.
“Berdasarkan data GAPKI, hampir 80 persen ekspor sawit Indonesia saat ini sudah produk hilir. Hanya sekitar 10-20 persen yang berupa CPO,” jelas Qayuum.
Sementara itu, Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian, Sahat Sinaga mengungkapkan hilirisasi sawit dengan teknologi yang ada saat ini nilai usahanya di tahun 2023 sudah mencapai USD62,9 miliar.
Angka tersebut berasal dari hasil ekspor sebesar USD 38,4 miliar, domestik USD21,4 miliar dan biomassa USD3,1 miliar.
“Hilirisasi Industri Sawit dengan jumlah jenis produk sebanyak 54 jenis di tahun 2007 meningkat ke 179 jenis di tahun 2023, dan kesempatan masih terbuka luas untuk dikembangkan agar meningkatkan revenue sawit kita,” ujar Sahat.
Meski cukup mengalami peningkatan, dia menyebut hilirisasi industri sawit Indonesia masih kalah dengan Malaysia.
Sebab negara tetangga sudah mempunyai sekitar 260 produk turunan sawit.
Padahal, Malayasia hanya mempunyai 5 juta hektar lahan, jauh di bawah Indonesia yang mencapai sekitar 16,8 juta hektare.
“Mereka bisa menghasilkan tokotrienol dari sawit. Tokotreanol 1 kg 800 dolar loh. Kenapa banyak? Karena pengusaha aman disana. Engga tiba-tiba pengusaha didatangi kesatuan pemuda setempat, regulasi berubah-ubah. Di Indonesia besar potensinya tapi pelaku usaha takut,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Sahat menekankan perlunya satu badan khusus agar laju industri sawit bisa berjalan optimal.
Komentari tentang post ini