Jhontoni mengatakan, para ibu menangis karena merasakan kesedihan yang sangat mendalam.
Sebab begitu banyak rintangan yang mereka alami saat mempertahkanak hak atas wilayah adat. Lalu ada juga kekerasan yang dialami orangtuan dan anak-anaknya. Ini tentu mengakibatkan ketakutan atau trauma bagi anak-anak.
“Kita yang mendengar juga sangat sedih. Bukan saja karena mereka menangis, tapi mendengar cerita mereka tentang situasi dan kekerasan yang terjadi rasanya sangat menyedihkan dan membuat kita marah. Walaupun saya tidak meneteskan air mata, mendengar cerita itu sangat sedih,” ujar Jhontoni.
Ia berharap, aduan dan keluhan masyarakat kepada KPAI, kiranya menjadi bahan pertimbangan bagi KPAI untuk segera mengambil peran dalam situasi konflik berlarut-larut di masyarakat adat Sihaporas.
Sebab perjuangan mereka bukan hanya tentang tanah adat, tetapi saat ini juga menolak kekerasan dan penghilangan hak anak.
Memang berjuang untuk tanah adat, untuk wilayah adat yang tetap lestari yang akan diwariskan sebagai masa depan termasuk masa depan anak-anak.
Sebab ada juga problema serius yang dihadapi anak-anak. Ada anak menjadi korban kekerasan, yang melihat situasi saat ayahnya ditangkap polisi.
Jhontoni berujar, “Dan ada juga, anak-anak yang kehilangan ayah karena bapaknya terpenjara. Atau ada anak-anak yang menjadi berjarak dengan bapaknya. Kita bisa bayangkan, anak sekolah, yang semula diantar-jemput bapak ke sekolah, tapi karena ayahnya ditangkap polisi, maka kasihan anak-anaknya tidak mendapat pendampingan saat menjalani pendidikan.”