Oleh: Radhika Rao, Ekonom Bank DBS
Terlepas dari pandemi, Indonesia telah mempersiapkan dasar pembentukan lembaga untuk mendukung prioritas utama nasional.
Sovereign Wealth Fund: Sebagai bagian dari Omnibus Law yang disahkan pada 4Q20, Indonesia menciptakan sarana investasi melalui pembentukan Sovereign Wealth Fund bernama Indonesia Investment Authority (INA) atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI).
Berbeda dari SWF nasional lainnya yang dibentuk untuk mengelola cadangan devisa/ surplus neraca pembayaran atau pendapatan berbasis komoditas, INA bertujuan untuk menarik investor luar negeri untuk membiayai investasi dalam negeri, terutama di bidang infrastruktur.
Modal dasar akan berupa campuran suntikan dana serta aset negara, piutang pemerintah, dan saham perusahaan milik negara (BUMN) atau perseroan terbatas, senilai Rp70-75 triliun (USD5 miliar).
Target pendanaan jangka menengah telah ditetapkan sebesar USD100 miliar. Uni Emirat Arab (UEA) menjadi investor utama pertama di INA, dengan rencana menyuntikkan dana hingga USD10 miliar.
Indonesia juga dilaporkan telah menerima komitmen walaupun belum secara formal dari investor global termasuk JBIC Jepang, IDFC AS, Pension Plan Investment Board Kanada, sementara pemerintah menargetkan campuran dana lembaga pengelola investasi global, serta pihak swasta.
Tim manajemen terdiri dari mantan pejabat senior bank yang ditunjuk sebagai CEO, dengan anggota dewan yang terdiri dari para pendukung industri keuangan serta pejabat senior dari perusahaan milik negara.
Fokus investasi pada infrastruktur (dimulai dari ruas jalan tol dan transportasi) dalam dua tahun pertama, selanjutnya akan diperluas ke teknologi, perawatan kesehatan, dan kemudian energi terbarukan.
Hal ini juga bertepatan dengan meningkatnya alokasi anggaran untuk infrastruktur yaitu hampir dua kali lipat dari Rp256 triliun pada 2015 menjadi Rp417,4 triliun pada 2021 (lihat grafik).
Baik proyek greenfield dan brownfield akan ditawarkan, yang akan membutuhkan modal ekonomi dan politik yang memadai untuk membuahkan hasil dan meningkatkan imbal hasil yang diperlukan untuk menarik lebih banyak kepentingan pendanaan.
Menurut Fitch Ratings, saat ini sedang dicari kejelasan mengenai bagaimana investasi yang diusulkan ini akan disalurkan, mungkin dapat diperluas ke sektor swasta dan juga BUMN.
Misalnya dengan mengakuisisi proyek yang sudah ada atau menyumbangkan modal untuk mengurangi tekanan pada BUMN untuk meningkatkan utang bagi proyek baru.
Pemerintah sebelumnya telah menetapkan rencana untuk menyalurkan lebih dari IDR5,957 triliun (USD425 miliar dengan kurs saat ini) pada tahun 2024-25, dengan 40% pendanaan melalui keuangan pemerintah, 25% melalui BUMN, dan sisanya oleh sektor swasta.
Mempertimbangkan kebutuhan pembiayaan yang penting, ruang lingkup partisipasi INA kemungkinan akan ditingkatkan selama 4-5 tahun ke depan.
Bersamaan dengan itu, ekosistem yang lebih besar untuk proyek-proyek, misalnya, persetujuan cepat, akses ke pembiayaan, ketersediaan izin, perampingan akses ke faktor-faktor utama produksi (tanah dan tenaga kerja), dan kejelasan tentang kerangka kerja kontrak/hukum, serta lainnya akan memungkinkan pula penyelesaian tepat waktu dan menghindari pembengkakan biaya.
Komentari tentang post ini