Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP
Di tengah hiruk pikuk persaingan politik, nama Anies Baswedan sering muncul sebagai sosok yang tangguh.
Meskipun terus menerus dihadapkan pada tantangan, Anies berhasil lolos sebagai calon, sebuah pencapaian yang tidak bisa dianggap remeh.
Sebagai aktivis mahasiswa dan berlatar belakang akademisi, Anies menawarkan pilihan yang mungkin terbatas, namun signifikan.
Kecerdasan, kejujuran, dan dedikasinya membuatnya layak untuk dipertimbangkan sebagai calon pemimpin.
Namun, lebih dari itu, pemilihan ini bukan hanya tentang memilih antara Anies, Ganjar, atau siapapun. Ini tentang suara rakyat.
Pemilu di Indonesia sering kali terasa seperti perayaan semata, di mana suara pemilih terasa seperti alat tukar sembako.
Praktik-praktik semacam ini menodai esensi demokrasi, membuat banyak orang merasa bahwa sistem pemilu langsung yang saat ini diterapkan belum mampu mengakomodir aspirasi rakyat secara murni.
Ada suara-suara yang mulai menggulirkan ide untuk kembali kepada sistem pemilihan tidak langsung lewat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebuah gagasan yang banyak teman dukung, dengan harapan dapat menyelamatkan demokrasi dari praktik koruptif yang merugikan rakyat.
Kegagalan dalam pemilu bukan hanya kerugian bagi kandidat yang kalah, tetapi lebih luas lagi, bisa menjadi petaka bagi negara.
Jika pemilu tidak mampu mencerminkan suara rakyat secara jujur dan adil, maka legitimasi sistem demokrasi kita dipertanyakan.
Kita harus berupaya keras untuk memastikan bahwa suara rakyat, yang seharusnya menjadi suara tuhan, tidak hanya didengar tapi juga dihormati dan dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan politik.
Persoalan yang kita hadapi hari ini jauh melebihi sekadar pilihan antara Anies, Ganjar, atau figur lainnya.
Ini tentang memastikan bahwa demokrasi yang kita banggakan benar-benar berfungsi sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan untuk semua.
Komentari tentang post ini