JAKARTA-Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 tahun 2013 tentang Peningkatan Efektifitas Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri dinilai sebagai jalan tengah mengatasi konflik yang semakin kompleks.
Namun ada kekhawatiran Inpres itu sebagai langkah SBY untuk mengembalikan peran TNI atas Polri.
“Mengembalikan peran TNI itu sudah mustahil karena desakan reformasi untuk mewujudkan supremasi sipil itu sangat kuat. Sehingga Inpres itu seolah-olah untuk memberi peran pada TNI,” kata Ketua Setara Institute, Hendardidalam diskusi konflik TNI/Polri bersama anggota DPD RI yang juga mantan Gubernur PTIK Farouk Muhammad di Jakarta, Kamis (14/3).
Kecenderungan pemerintah untuk memberikan peran TNI yang lebih, sekarang ini menurut Hendardi, karena pemerintan mendukung segera disahkannya RUU Kamnas, UU Intelejen, UU Militer dan sebagainya.
“Hanya, saya khawatir dengan Inpres itu jika kepala daerah diberi kewenangan untuk memutuskan kendali keamanan di daerah, justru akan digunakan untuk kepentingan politik karena kepala daerah berasal dari partai,” ujarnya.
Karena itu dia lebih menyetujui UU yang permanen di mana peran TNI itu dibutuhkan dalam penanganan keamanan dalam negeri dimaksud. Presiden SBY pun tidak menunjukkan iktikad baik, jelas dan lurus dalam menangani konflik TNI/Polri selama ini.
“Jadi, revisi UU Militer itu harus dituntaskan,” katanya.
Sementara itu, Farouk mengakui sejak pemisahan TNI/Polri pada 1 April 1999 di era pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid itu memang berat, tapi supremasi sipil memang harus diwujudkan.
“Hanya memberikan peran berjenjang bahwa untuk keamanan di dalam negeri mustahil TNI berinisiatif.
Menurut Farouk, untuk kasus-kasus keamanan luar negeri, TNI/Polri harus sama-sama berperan.
Sedangkan khusus untuk konflik di daerah terpencil dan daerah perbatasan, kerjasama TNI/Polri sama-sama dibutuhkan.
Komentari tentang post ini