YOGYAKARTA –Kisruh ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah dan syarat usia pencalonan hingga kini belum tuntas.
Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Sarjana Katolik Indonesia ( DPP ISKA) DIY mendesak Presiden, DPR, dan KPU untuk berhenti melakukan manuver yang dapat memunculkan kegaduhan politik.
Hal ini mencederai praktik demokrasi Pancasila.
“Hendaklah lebih fokus untuk mempersiapkan pilkada yang jujur, adil, transparan, dan bermartabat,” ujar Ketua Umum DPP ISKA DIY Julius Hernondo dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (23/8).
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan dua putusan krusial terkait tahapan pencalonan kepala daerah, yakni Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024.
Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Sementara, putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Putusan itu menggugurkan tafsir putusan Mahkamah Agung sebelumnya yang menyebut bahwa batas usia itu dihitung sejak pasangan calon terpilih dilantik.
Menurut Julius, politik adalah keterlibatan seseorang untuk menentukan arah kebersamaan hidup berbangsa dan bernegara untuk menciptakan kesejahteraan bersama (bonum commune).
Namun yang terjadi sekarang politik berkecenderungan untuk berebutan kekuasaan karena orang tidak lagi melandaskan dirinya nilai-nilai moral dan etika, seperti kebenaran, kejujuran, keadilan dan transparansi.
Padahal, dengan etika, politik dapat membantu usaha masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata.
“Seharusnyalah kekuasaan dicari tidak hanya untuk kepentingan sendiri tetapi sebagai alat untuk melayani manusia. Kekuasaan politik dapat dan harus diarahkan untuk kepentingan rakyat,“ tegasnya.
Dia menjelaskan, negara demokrasi pastilah berkaitan dengan bentuk pemerintahan yang didasarkan pada konstitusi atau aturan main perundang-undangan yang berarti dibatasinya kekuasaan para pemimpin dan lembaga-lembaga pemerintahan, dan pembatasan ini ditegaskan melalui prosedur yang jelas dan tegas.
Sayangnya, perpolitikan nasional saat ini jauh dari kondisi ideal tersebut.
Oleh karenanya, ISKA DPD DIY dengan tegas mendesak pemerintah dan DPR harus menjadi teladan etika dan moral dalam kehidupan demokrasi.
Sehingga harus tegas untuk menumbuhkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang didasarkan atas tata kelola kepemerintahan yang baik serta menolak nilai-nilai yang bersifat koruptif, kolutif dan nepotis.
Hal ini diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang menjadi amanat reformasi.
Lebih lanjut, Julius menjelaskan, pilkada yang merupakan pesta demokrasi untuk memilih Pimpinan Daerah yang berkualitas dan sahharus dilaksanakan sebagai kompetisi politik yang sehat, demokratis, adil, dan transparan, serta bersih dari praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Untuk itu, acuan untuk memulai siklus politik pilkada harus diawali dengan mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU/XXII/2024 dan 70/PUU/XXII/2024.
“Tidak perlu ada lagi kebijakan dalam bentuk apa pun yang mengingkari kedua putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat tersebut. Kami akan terus mengawalnya,” imbuhnya.
ISKA DIY tegas Julis mendesak pemerintah mengambil kebijakan dan melaksanakannya secara lebih efektif-efisien dengan prioritas memulihkan kesejahteraan masyarakat dalam kerangka bonum commune.
“Ini penting agar penyelenggaraan pemerintahan yang segera akan memasuki transisi dan peralihan kekuasaan selalu berorientasi pada perlindungan kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya.
Komentari tentang post ini