ISKA melihat dalam waktu 15 tahun lagi, ketika generasi ini memegang posisi pengambil keputusan di berbagai bidang , maka Indonesia akan memiliki pemimpin bangsa yang tidak membumi, tidak pernah ada ikatan emosional kebangsaan karena cara melihat generasi tersebut adalah maya. Jiwa patriotisme , rasa cinta tanah air, budaya toleransi , dan nasionalisme sangat kurang dibandingkan dengan generasi yang tumbuh sebelum Orde Reformasi. Kunci kemenangan persaingan global bukan di Sumber Daya Alam namun justru di Sumber daya manusia dengan karakter kebangsaan nya yang kuat.
Muliawan menambahkan, yang perlu dilihat adalah pola pikir Anak Reformasi ini. Anak Reformasi, ditambahkan Muliawan, melihat negara sebagai daratan maya yang tak berbatas (borderless land), yang dapat dikontrol dengan gadget (perangkat komunikasi) dengan warganegara beruwujud tapi tak terbentuk. Mereka bisa saling berkomunikasi tetapi tidak pernah berjumpa, bisa mendapatkan bisnis dengan mudah tetapi semuanya dikuasai oleh untouchable institution (institusi tak tersentuh). “Jika ditarik benang merahnya, permakluman akan kasus double kewarganegaraan sebagai sesuatu yang tidak serius akan memberi dampak pada penggunaan kacamata yang sama dalam melihat generasi Reformasi. Jika yang terjadi demikian, maka mimpi Joko Widodo akan terwujud namun negara Indonesia bukanlah milik bangsa Indonesia,” ujar Muliawan
Komentari tentang post ini