JAKARTA-Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Permohonan ini diajukan oleh Mohammad Kilat Wartabone (Wakil Bupati Bone Bolango Periode 2016-2021) dan Imran Ahmad.
“Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman bersama delapan hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 67/PUU-XVIII/2020, Kamis (14/1/2021), secara daring dari Ruang Sidang Pleno MK.
Mahkamah berpendapat, sekalipun Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada telah mengatur pembatasan periodesasi masa jabatan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) maksimal dua periode, secara normatif ketentuan dimaksud belum dapat menjawab perhitungan periodesasi masa jabatan kepala daerah yang tidak dapat menuntaskan masa jabatan sebelum berakhir masa jabatannya selama lima tahun.
Pentingnya penentuan perhitungan dimaksud tidak hanya berkaitan dengan periode masa jabatan kepala daerah yang berhenti sebelum habis masa jabatannya, tetapi menyangkut pula penentuan periodesasi masa jabatan wakil kepala daerah yang melanjutkan sisa masa jabatan kepala daerah.
Satu Kali Masa Jabatan
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Mahkamah merujuk pada putusan sebelumnya, yaitu Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang mempertimbangkan bahwa yang menjadi persoalan ialah jika masa jabatan periode pertama tidak penuh karena Pemohon menggantikan pejabat bupati/walikota yang berhenti tetap.
Misalnya Pemohon II menjabat Bupati Karimun periode pertama selama kurang dari satu tahun (kurang dari separuh masa jabatan).
Sedangkan Pihak Terkait I menjabat Walikota Surabaya selama dua tahun sembilan bulan atau lebih dari separuh masa jabatan.
Penjelasan Pasal 38 PP 6/2005 menyatakan bahwa penghitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan.
Penjelasan ini tidak membedakan apakah seseorang secara penuh menjabat selama masa jabatan ataukah tidak.
Mahkamah menilai tidak adil apabila seseorang menjabat kurang dari setengah masa jabatan disamakan dengan yang menjabat setengah atau lebih masa jabatan.
Oleh sebab itu, berdasarkan asas proporsionalitas dan rasa keadilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” Mahkamah berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan.
Artinya jika seseorang telah menjabat kepala daerah atau sebagai pejabat kepala daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan.
Komentari tentang post ini