Dengan memahami secara saksama pertimbangan hukum di atas, substansi yang berkaitan dengan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah telah dipertimbangkan sedemikian rupa untuk memberikan kepastian hukum.
Artinya, norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada yang menyatakan, “Belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota” harus dimaknai sebagaimana pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009.
Berdasarkan pemaknaan tersebut, khususnya pertimbangan yang menyatakan “Mahkamah berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan.
Artinya, jika seseorang telah menjabat kepala daerah atau sebagai pejabat kepala daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan” sehingga persoalan permohonan para Pemohon yang memohon agar frasa sebagaimana dimaksudkan dalam petitum para Pemohon yang menyatakan, “menjabat sebagai gubernur, bupati, walikota” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “menjabat sebagai gubernur, bupati, walikota dan/atau menjadi pejabat gubernur, bupati, walikota” telah dijawab secara tegas dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 tersebut.
“Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat tidak terdapat masalah konstitusionalitas dalam norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon a quo,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pendapat Mahkamah.
Terkait dalil para Pemohon perihal penyelundupan hukum berkenaan dengan kasus konkret yang dikemukakan oleh para Pemohon, dalil tersebut menurut Mahkamah adalah dalil yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk memberikan penilaian, mengingat penetapan seseorang yang diangkat menjadi pejabat kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang berhalangan tetap adalah merupakan ranah implementasi norma dan bukan terkait dengan inkonstitusionalitas norma.
Terlebih lagi, karena norma Pasal 7 ayat (2) huruf n berkaitan dengan syarat pencalonan, maka secara yuridis pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan atau upaya hukum kepada lembaga yang ditentukan oleh undang-undang.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Sebagaimana diketahui, permohonan uji materi UU Pilkada ini diajukan oleh Mohammad Kilat Wartabone dan Imran Ahmad.
Mohammad Kilat Wartabone merupakan bakal calon kepala daerah yang mendapatkan dukungan melalui jalur perseorangan untuk maju dalam Pilkada Serentak Tahun 2020 di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.
Sedangkan Imran Ahmad adalah penduduk Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, yang mempunyai hak untuk dipilih (right to be candidate) sekaligus hak untuk memilih (right to vote) dalam Pilkada Serentak Tahun 2020.
Para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 khususnya frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur/Bupati/Walikota …” yang pemaknaannya berlaku untuk subjek hukum Gubernur/Bupati/Walikota saja.
Makna dari norma tersebut dibatasi hanya untuk menghitung masa jabatan subjek hukum yang pernah menjabat sebagai kepala daerah saja, tetapi tidak berlaku untuk subjek hukum wakil kepala daerah yang menjadi pejabat kepala daerah dengan tugas dan wewenangnya sebagai kepala daerah.
Padahal dalam satu periode masa jabatan, menurut para Pemohon, terdapat subjek hukum yang menjabat sebagai kepala daerah yakni (1) Gubernur/Bupati/Walikota itu sendiri, dan/atau (2) Wakil Gubernur/Bupati/Walikota yang menjadi pejabat kepala daerah.
Secara aktual, para Pemohon mengalami kerugian atas praktik ketatanegaraan kepala daerah di Kabupaten Bone Bolango.
Bupati Bone Bolango terpilih Periode 2010-2015, Abdul Haris Nadjmudin, diberhentikan sementara karena tersangkut perkara pidana sehingga Wakil Bupati Hamim Pou diberi wewenang menjalankan pemerintahan sebagai pejabat bupati sejak 18 September 2010-27 Mei 2013.
Dalam rentang waktu 2 tahun 3 bulan, Bupati Abdul Haris Nadjmudin meninggal dunia sehingga Hamim Pou menjadi bupati pengganti sejak 27 Mei 2013-17 September 2015.
Pada Periode 2016-2021, Hamim Pou terpilih menjadi Bupati satu periode untuk masa jabatan 17 Februari 2016-17 Februari 2021.
Kemudian pada Pilkada Serentak 2020 nanti, Hamim Pou yang merupakan ketua salah satu partai dicalonkan kembali menjadi Bupati Bone Bolango Periode 2021-2026.
Komentari tentang post ini