Sikap Fahmi, sangat disayangkan dan sangat tidak patut untuk dilakukan oleh seorang Kajari.
Jangan karena Kejaksaan Negeri merupakan satu-satunya pelaksana kekuasan negara di bidang penuntutan (dominus litis), di daerah hukumnya (Kabupaten/Kota), lantas Kajari boleh bertindak sewenang-wenang, congkak dan tidak menghargai budaya kerja sesama pejabat di Sikka.
BUKAN TEMPAT PEJABAT BERWATAK PREMAN
Petrus menegaskan, tongkat komando, logo, lambang di dada dan bintang kaleng warna kuning atau kuningan di pundak, tidak boleh dimaknai untuk memberi bobot seorang Kajari menjadi congkak, merasa diri lebih hebat dari yang lain dan berperilaku sebagai jagoan preman pasar (berwatak preman), melainkan dimaksudkan untuk mengabdi, mengayomi dan melayani rakyat.
“Jadi, peristiwa Fahmi vs Petrus Herlemus, harus menjadi peristiwa terakhir di Sikka,” jelasnya.
Apalagi pemanggilan Petrus Herlemus, hanya melalui telepon celuler, jelas sebagai tindakan sewenang-wenang, di luar prosedure urusan pro justisia.
Apalagi Petrus Herlemus bukan bawahan Fahmi dan tidak sedang tersangkut perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan Negeri Sikka.