Namun tujuan lain yang menjadi misi UU pemilu belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Misalnya menghasilkan pemerintahan yang kuat, DPR yang efektif, partisipasi yang meningkat dan menciptakan sistem kepartaian yang sederhana.
Hal ini terjadi karena belum adanya kesesuaian antara tujuan dan misi UU Pemilu dengan amanat UUD 1945. Pemilu 2004-2014 malah menghasilkan fenomena “Parlementarisasi Presidensialisme” dimana presiden yang terpilih, tidak mendapatkan dukungan mayoritas kursi di DPR.
Hal ini berakibat pada efektifitas roda pemerintahan, khususnya kebijakan yang membutuhkan persetujuan atau pengesahan DPR.
Kemenangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014 secara mayoritas (53,15%), tapi peta dukungan kursi di DPR hanya kisaran (36,96%). Hampir satu tahun lebih masa pemerintahannya tidak ada satupun RUU yang diajukan pemerintah untuk di bahas di DPR.
Hal ini normal mengingat pemerintah tidak memiliki dukungan mayoritas di DPR saat itu.
Munculnya problem kelembagaan antar Presiden dan DPR hasil pemilu ini karena tidak adanya kesesuaian antara UU pemilu legeslatif dengan pemilu presiden. Jika RUU Pemilu tidak mampu mencegah kembali “parlementarisasi presidensialisme” maka hal ini akan memperlemah demokrasi ke depan.
Komentari tentang post ini