Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, mencatat lebih dari 600.000 hektar telah memasuki Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
“Dampaknya, deforestasi di pulau-pulau kecil tak terhindarkan. Luas hutan di pulau-pulau kecil yang tercatat lebih dari 4,1 juta hektar dan luasan hutan mangrove di kawasan pesisir seluas 4,4 juta hektar terus menyusut akibat ekspansi perkebunan sawit. Dalam jangka Panjang, krisis sosial-ekologis di pesisir dan pulau-pulau kecil yang merugikan 8 juta keluarga nelayan tak terhindarkan,” terangnya.
Oleh karena itu koalisi menilai bahwa diplomasi sawit dalam kebijakan perdagangan internasional Indonesia bukanlah solusi terbaik untuk meningkatkan perekonomian rakyat.
Bahkan, pada akhirnya, monopoli penguasaan dan pengelolaan eksploitatif sumber daya alam berdampak terhadap hilangnya akses rakyat terhadap tanah, air, dan laut yang merupakan sumber penghidupan rakyat, yang kemudian menimbulkan resiko terhadap keberlanjutan ekonomi dan kehidupannya secara utuh.
Rahmat Maulana Sidik dari Indonesia for Global Justice mengingatkan kembali atas putusan Mahkamah Konstitusi No.13/PUU-XVI/2018[3] yang menyebutkan bahwa persoalan perdagangan, ekonomi, investasi, pajak berganda, bahkan utang luar negeri dapat menjadi bagian dari perjanjian internasional yang berdampak luas yang membutuhkan persetujuan rakyat, dalam hal ini melalui DPR RI.
Hal ini telah sesuai dengan Pasal 11 UUD RI 1945 yang berbunyi: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Oleh karena itu, konsekuensi logis yang harus dilakukan oleh DPR RI dan Pemerintah Indonesia terkait dengan perjanjian perdagangan dan investasi internasional adalah: Melakukan penilaian analisis dampak secara comprehensive oleh DPR RI sebelum memberikan persetujuan atas sebuah perjanjian perdagangan dan investasi atas dampaknya terhadap ekonomi, sosial, lingkungan, dan hak asasi manusia.
“Hasil dari penilaian dampak inilah yang harus menjadi landasan argumentasi bagi DPR RI dan Pemerintah dalam mengambil keputusan untuk mengikatkan Indonesia kepada Perjanjian perdagangan dan investasi Internasional,” pungkasnya.
Komentari tentang post ini