JAKARTA-Dunia sudah berubah dan tidak seperti dulu lagi.
Covid-19 secara tidak langsung meluaskan makna ideologi.
Dan karena Covid juga, pemaknaan globalisasi juga mendapatkan pemaknaan baru yang lebih tegas dan bersifat ancaman.
Globalisasi tidak hanya dimaknai sebagai hubungan saling tergantung (interdependence) dan saling terkoneksi (interconnected), tetapi juga diartikan sebagai dominasi kekuasan, kepemimpinan dan kekuatan (hegemoni) sebuah negara terhadap negara lain.
Sebagai akibatnya, dari kacamata nasionalisme, globalisasi harus dilihat sebagai ancaman terhadap eksistensi sebuah negara dan bangsanya.
Dan untuk menghadapi hegemoni tersebut, dibutuhkan ideologi yang beruwujud, berbentuk dan berketahanan (resilience).
Dengan demikian ideologi harus dipandang sebagai cara sebuah negara untuk mempertahankan diri terhadap ancaman tersebut dalam wujud nyata.
Demikian dijelaskan Taprof Bidang Ideologi, Lemhannas RI AM Putut Prabantoro kepada para peserta Program Summer Course Global Legal Issues yang diselenggarakan Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Selasa (04/07/2023).
Program ini diikuti peserta yang berasal dari berbagai negara termasuk Uzbekistan, Thailand, India dan Korea Selatan. Hadir pula dua guru besar dari Fakultas Hukum Universitas Youngson, Korea Selatan yakni, Prof Park Jihyun (Hukum Internasional) dan Prof Jian Chamin (Hukum Perdata dan Hukum Keluarga).
Dalam paparannya yang berjudul “The World Is Changed – What Is The Importance of Ideologi In The Globalization Era”, Putut Prabantoro menjelaskan, lockdown yang terjadi saat Covid-19 membuat dunia tidak terkoneksi dan tidak tergantung satu sama lain kecuali dalam dunia digital.
Sebuah negara terputus dari negara lain.
Masing-masing negara mengurus dirinya sendiri (desentralisasi global) untuk mampu bertahan hidup dalam Covid. Covid menguji ideologi masing-masing negara apakah mampu bertahan dalam krisis.