JAKARTA – Fluktuasinya harga pangan, mulai dari daging sapi hingga kedelai dan lainnya di dalam negeri menandakan kebijakan pertanian yang diambil tidak fundamental.
“Bahkan kebijakan itu, hanya berlaku sekitar 6 tahun-10 tahun. Artinya, kebijakan itu sifatnya lebih sporadis, disisi lain juga tidak didukung faktor kepemimpinan,” kata pengamat ekonomi Aris Yunanto, dalam diskusi “Menjaga Ketahanan Pangan” bersama Wakil Ketua Komite 2 DPD RI, Abdul Azis dan Wakil Ketua Komisi IV DPR, Firman Subagyo di Jakarta, Jumat,(6/9).
Makanya, kata Aris lagi, kebijakan pemerintah itu belum terlihat mendukung sektor pangan. Pada 2006, sambung Aris, terlihat perang antara sektor pangan dan energi. Nah, pada 2013 ini, perang itu justru bertambah, yakni pangan, energi dan pakan ternak.
Pasca reformasi dan ditandatanganinya letter of Intens dengan IMF, lanjutnya, orang Indonesia lebih suka berdagang atau menjadi makelar ketimbang bertani. “Lebih suka impor dan impor, ketimbang bertani,” ucapnya.
Padahal, lanjut Dosen FEUI ini, pemerintah memiliki banyak BUMN, termasuk BUMN pertanian yang nota bene merupakan kepanjangan tangan pemerintah. Sehingga implementasinya di lapangan, BUMN ini memiliki previlage.