Jauh lebih rendah dari tahun 2012 ketika harga komoditas juga melonjak tajam.
Ketika itu, konsumsi masyarakat dan investasi masing-masing memberi kontribusi 3,0 persen dan 2,9 persen.
Artinya, kenaikan harga komoditas yang melonjak tajam tersebut dinikmati sendiri oleh para oligarki.
Kenaikan ini tidak menetes ke masyarakat. Karena itu juga tidak membuat investasi naik.
Selanjutnya, kenaikan harga komoditas membuat penerimaan negara melonjak. Penerimaan Negara dari Perpajakan naik 38,25 persen, dari Rp290,4 triliun pada Q1/2021 menjadi Rp401,8 triliun pada Q2/2022, atau naik Rp111,4 triliun.
Ditambah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), total kenaikan Pendapatan Negara menjadi Rp122,2 triliun.
Tetapi, anehnya, Belanja Negara malah kontraksi, atau turun Rp32,4 triliun. Belanja Negara pada Q1 tahun lalu mencapai Rp523 triliun, sedangkan pada Q1 tahun ini hanya Rp490,6 triliun.
Sehingga kontribusi Konsumsi Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi minus 0,5 persen.
Di lain sisi, masyarakat dibebani kenaikan harga pangan dan harga energi.
Komentari tentang post ini