Hal ini membuat daya beli masyarakat melemah, konsumsi masyarakat stagnan.
Namun demikian, Pemerintah tidak membantu meringankan beban hidup masyarakat, tidak membantu stimulus ekonomi, di mana Konsumsi Pemerintah kontraksi.
Apakah kebijakan fiskal yang tidak lazim ini hanya untuk mencapai surplus anggaran APBN, di tengah derita masyarakat?
APBN pada Q1/2021 tercatat defisit Rp144,2 triliun, tiba-tiba menjadi suplus Rp10,3 triliun pada periode sama tahun ini.
Hal ini menunjukkan kebijakan fiskal tidak pro rakyat.
Kalau saja kebijakan fiskal dilakukan secara benar, pertumbuhan ekonomi 7 persen seharusnya tidak sulit dicapai.
Tambahan 2 persen bisa diperoleh dari konsumsi pemerintah, konsumsi masyarakat dan investasi.
Tetapi karena negara tidak diurus, karena para pejabat lebih sibuk dengan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, kesempatan pertumbuhan ekonomi 7 persen melayang.
Tidak bisa dipungkiri, kenaikan harga komoditas dunia menjadi faktor pendongkrak ekonomi Indonesia, membuat kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi mencapai 3,5 persen, merupakan kontribusi tertinggi sejak 2011.
Komentari tentang post ini