JAKARTA – KEJAKSAAN Agung (Kejagung) telah melakukan penyitaan terhadap 5 smelter atau pemurnian bijih timah di Bangka Belitung (Babel) terkait kasus korupsi tata niaga timah di wilayah IUP milik PT Timah Tbk periode 2015-2022 dengan taksiran kerugian lingkungannya mencapai Rp 271 triliun.
Ketua Departemen Hukum Acara Universitas Indonesia Junaedi Saibih menilai perlu ada langkah strategis yang tidak menimbulkan polemik serta kerugian bagi masyarakat banyak, termasuk kerugian ekonomi akibat tidak berjalannya smelter.
“Ketika alat produksi atau tempat buat produksi disita, berarti kan dia ngga bisa gerak produksinya, kalau dia ngga bisa gerak produksi, terus dia punya manfaat ngga? Terus Kejaksaan bisa mengelola dan merawat itu nggak?,” ujarnya dengan nada tanya.
“Karena yang namanya orang menyita itu nggak cuma disita, tapi setelah itu dirawat biar nggak rusak. Itu kan ada biaya yang harus juga dikeluarkan oleh Kejaksaan. Jadi untuk melakukan penyitaan itu gak cuma sikapnya keras aja diambil, tapi harus dipikirkan bagaimana pengelolaan dan pemeliharaannya,” katanya.
Dibanding melakukan penyitaan smelter yang berdampak pada masyarakat luas, aparat penegak hukum disarankan untuk memempertimbangkan berbagai aspek sebelum melakukan langkah hukum.
Pasalnya, penyitaan smelter yang sudah dilakukan telah berdampak pada kehidupan bermasyarakat Bangka Belitung.
“Makanya saya selalu tidak pernah setuju penyitaan terhadap alat produksi, tapi sedapat mungkin alat produksi itu kalau dia bekerja, dia tetap bergerak, pabrik dia bergerak semua,” terangnya.
“Jangan disita kalau akhirnya nggak ada pergerakan, kalau nggak ada pergerakan maka nggak ada hasil produksi, berarti orang nggak kerja, dengan begitu maka akan terjadi pengangguran terbuka, yang kemarin ratusan PHK (Pemutusan hubungan kerja) jumlahnya bisa bertambah lagi,” kata Pakar Hukum UI itu.
Dari pantauan media di lapangan, rata-rata smelter melakukan PHK antara 500 hingga 600 orang pekerja. Jika dijumlahkan 5 smelter maka jumlahnya mencapai ribuan pekerja.
Angka tersebut belum termasuk dengan penambang rakyat yang terganggu pekerjaannya, jumlahnya bisa mencapai 10.000 orang lebih.
Selain dampak terhadap PHK pekerja, perlu ada langkah taktis dalam menyikapi kerugian ekologis yang disebut-sebut mencapai Rp 271 triliun.
Junaedi menilai aktivitas tambang pasti akan menyebabkan kerusakan lingkungan, namun ada keuntungan ekonomi yang diperoleh masyarakat maupun pendapatan pemerintah.
Karenanya perlu langkah lanjutan dalam meminimalisir kerugian, misalnya dengan perjanjian reklamasi.
“Nah yang harus dilakukan kalau menurut saya harusnya adalah melakukan NPA, non- Prosecution agreement. Jadi bagaimana perusahaan-smelter yang sudah melakukan aktivitas pertambangan tadi dibuat satu agreement, dihitung kerugian dari aktivitasnya dan bersama-sama bikin skema perbaikan reklamasi,” imbuhnya.
“Nah itu jauh lebih efektif daripada harus mengambil langkah yang keras untuk pemidanaan atau penuntutan. Itu salah satu cara dalam metode restoratif justice yang bisa diambil,” kata Junaedi.
Sementara itu Wakil Ketua Bidang Lingkungan Hidup HKTI Bangka Belitung Elly Rebuin menilai bahwa langkah Kejaksaan Agung dalam proses hukum perlu cepat sehingga tidak mengganggu perekonomian masyarakat.
Pasalnya, saat ini banyak masyarakat yang kesulitan untuk bekerja karena mata pencahariannya terganggu, baik sebagai penambang rakyat maupun pekerja smelter.
“Masyarakat ini kan perlu makan, kalau tidak bisa beraktivitas seperti biasanya, maka pendapatannya hilang dan yang dikhawatirkan kriminalitas meningkat. Saya sendiri sudah melihat hal itu sudah terjadi, sudah mulai nampak pencurian dan lain sebagainya demi kebutuhan agar bisa makan. Jadi tolong apapun proses hukumnya dipercepat karena masyarakat butuh makan,” kata Elly kepada wartawan, Sabtu (27/4/2024)
Ketika masyarakat butuh bekerja demi mendapatkan uang, Kejaksaan Agung baru-baru ini menyita smelter yang menjadi pemurnian hasil tambang masyarakat.
Komentari tentang post ini