Oleh:Bambang Soesatyo
BEBERAPA kejahatan besar di sektor keuangan negara justru terjadi di tahun politik, dan melibatkan oknum pejabat tinggi negara. Apakah dana hasil kejahatan itu dimanfaatkan membiayai aktivitas politik untuk meraih jabatan tinggi? Inilah tantangan bagi penegak hukum untuk menelusuri penggunaan dana hasil kejahatan itu.
Semasa menjabat Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Hadi Poernomo diperkirakan mulai memroses keberatan pajak yang diajukan Bank Central Asia (BCA) pada periode awal tahun 2004, kendati BCA mengajukan dokumen keberatan itu sejak Juli 2003.
Berdasarkan telaah Direktorat PPh Ditjen Pajak, Keberatan BCA tak patut dikabulkan. Di tengah persiapan pemilihan umum tahun itu, tepatnya Maret 2004, Direktorat PPh merekomendasikan kepada Hadi Poernomo untuk menolak keberatan pajak BCA. Hadi tak sependapat dengan bawahannya.
Di tengah hiruk pikuk pemilihan presiden saat itu, Hadi ingin agar rekomendasi itu diubah. Melalui nota dinas 18 Juli 2004, Hadi memerintahkan Direktur PPh mengubah kesimpulannya agar keberatan pembayaran pajak yang diajukan BCA diterima seluruhnya.
Segalanya berjalan mulus hingga Hadi mengakhiri masa jabatannya sebagai Dirjen Pajak pada 2006. Dan, sejak Oktober 2009, dia terpilih menjabat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sayang, hanya dalam hitungan jam setelah dia pamit dari BPK untuk jalani masa pensiun, Hadi langsung ditetapkan sebagai tersangka, karena kebijakannya mengabulkan keberatan pajak BCA ternyata merugikan negara.
Terkuaknya kasus Hadi Poernomo-BCA tentu saja mengingatkan orang pada lambannya penanganan kasus besar lain yang masih berkait dengan kejahatan pajak. Antara lain kasus manipulasi restitusi pajak oleh Wilmar Grup. Kasus ini nyata, karena diungkap oleh pegawai pajak sendiri.
Skandal ini terungkap berkat laporan Kepala Kantor Pajak Pratama Besar Dua, M Isnaeni. PT Wilmar Nabati Indonesia (WNI) dan PT Multimas Nabati Asahan (MNA), menurut Isnaeni, diduga memanipulasi perhitungan restitusi pajak. Laporannya tak pernah ditindaklanjuti atasannya di Ditjen Pajak. Setelah delapan bulan menunggu sia-sia, Isnaeni pun mengadu ke Komisi III DPR.
Kasus ini diawali dengan pernyataan Ditjen Pajak bahwa WNI-MNA sebagai Wajib Pajak Patuh per Januari 2009. Dirjen Pajak saat itu dijabat Darmin Nasution. Setelah pernyataan itu, terjadi lonjakan nilai pengajuan restitusi PPN.
Komentari tentang post ini