Menyongsong Pilpres
Di tengah kesibukan menyongsong pemilihan Presiden 2009, WNI minta restitusi PPN Rp 2,232 triliun, dan dikabulkan Rp1,093 triliun. MNA mengajukan Rp 1,162 triliun dan dicairkan Rp 484,05 miliar. Klaim restitusi yang belum dibayarkan diajukan lagi. Maka, sepanjang periode September 2009 – Februari 2010, WNI mengajukan resititusi Rp 1,597 triliun dan MNA minta Rp 808,5 miliar.
Rupanya, Isnaeni mengendus dugaan tindak pidana. Ada indikasi direksi WNI – MNA merekayasa laporan transaksi jual-beli demi mendapat restitusi. Pada November 2009, Isnaeni pun mengajukan Usul Pemeriksaan Bukti Permulaan (penyelidikan) atas dugaan tindak pidana oleh WNI – MNA.Tetapi usul ini tak digubris Darmin dan M Tjiptardjo yang saat itu menjabat Direktur Intelijen dan Penyidikan Pajak.
Pada September 2010, Darmin Nasution dilantik menjadi Gubernur Bank Indonesia, sedangkan jabatan Dirjen Pajak dipercayakan kepada M Tjiptardjo. Hingga Desember 2013, penanganan kasus ini tak pernah jelas. Sempat ditangani Kejaksaan Agung, tetapi kemudian dikembalikan ke Ditjen Pajak dengan alasan tak cukup bukti. Aneh bukan; sebuah kasus yang diungkap oleh Kepala Kantor Pajak Pratama Besar Dua, tetapi disikapi dengan sangat minimalis.
Telusuri Penggunaan
Dalam konteks ini, tidak lengkap jika mega skandal Bank Century tidak dikedepankan sebagai contoh kasus lainnya. Benih kasus ini tumbuh di tengah persiapan menuju tahun Pemilu 2009. Sebagaimana disimak dari persidangan terdakwa Budi Mulya, para saksi mengemukakan bahwa FPJP (Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek) untuk Bank Century adalah keputusan yang terlalu dipaksakan. Pertama, karena bank ini tak memenuhi syarat. Kedua, karena nilai agunannya tak mencukupi.
Proses memaksakan persetujuan dan pencairan FPJP itu dimulai sejak Oktober – November 2008. Rapat Dewan Gubernur BI saat itu menjadi kurang kondusif karena beda pendapat yang cukup tajam. Namun, pada akhirnya, semua peserta rapat tunduk pada kehendak Gubernur BI saat itu, Boediono. Beberapa tindakan ilegal pun dilegalkan. Dari FPJP Rp.683 miliar kemudian diberikan lagi melalui mekanisme bailout yang membengkak dari komitmen awal Rp 632 miliar menjadi Rp 2,7 triliun per 24 November 2008. Entah ada kaitannya atau tidak, mendekati waktu pendaftaran pasangan calon presiden-calon wakil presiden (Capres/Cawapres), Boediono pun meraih kandidat Cawapres. Bailout kemudian terus menggelembung jadi Rp 6,7 triliun usai Pilpres 2009.
Dan menjelang Pemilu 2014 Bank Century yang kini bernama Bank Mutiara pada Desember 2013 digelontorkan lagi Rp.1,2 triliun dengan alasan untuk mengamankan CAR. BPK pada pertengahan April 2014 kemudian mengumumkan penggelontran dana tambahan bailout tersebut ditemukan banyak keganjilan dan penyimpangan. Selang dua hari kemudian, Ketua BPK itu menjadi tersangka kasus Pajak BCA bertepatan dengan ulang tahun sekaligus berakhirnya masa tugas yang bersangkutan sebagai Ketua BPK.
Mengingat bahwa nilai uang dari rangkaian kejahatan itu demikian besarnya, wajar jika muncul pertanyaan untuk apa saja uang triliunan rupiah itu digunakan? Sebagian kecil pasti dimanfaatkan untuk memperkaya diri atau kelompok. Mungkinkah bagian terbesar dari hasil kejahatan itu digunakan untuk membiayai kegiatan politik?
Setelah sekian lama publik hanya bisa berspekulasi, Anas Urbaningrum akhinya membuka tabir. Usai menjalani pemeriksaan di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi ) belum lama ini, Anas mengungkap indikasi tentang kemungkinan penggunaan dana Bailout Bank Century untuk membiayai kegiatan politik tahun 2009. Anas menunjuk hasil audit akuntan independen tentang penerimaan dan pengeluaran dana kampanye sebuah partai politik untuk pemilihan presiden 2009.
Anas curiga, ada aliran dana Bank Century yang digunakan untuk kampanye Pilpres 2009. Sebab, ada donatur individu atau korporasi yang identitasnya dipalsukan. Identitas donatur terdaftar, namun mereka tidak menyumbang dana kampanye.
Komentari tentang post ini