Oleh: Husein Muhammad
Masih banyak orang yang menolak ide kesetaraan gender sambil menyebut ayat al-Qur’an, al-Nisa, [4]:34, sebagai landasan teologisnya.
Ayat ini dalam terjemahan Kementerian Agama RI adalah : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Padahal pembaca ayat ini jika lebih cermat dan kritis akan menemukan bahwa redaksi mengisyaratkan nuansa-nuansa kontekstualitasnya.
Pertama, ayat ini sedang mendiskripsikan sebuah situasi social-budaya Arabia abad 7 yang patriarkis, bahwa laki-laki adalah entitas superior, sementara perempuan adalah entitas inferior. Jadi ia bukanlah ayat yang mengandung norma universal.
Kedua, ayat ini kemudian menyebutkan dua alasan mengapa relasi laki-laki dan perempuan seperti itu yaitu karena laki-laki memiliki keunggulan atas perempuan, dan laki-laki secara fungsional bertanggungjawab atas kebutuhan perempuan (dan keluarganya).
Mengenai alasan yang pertama ayat ini tidak secara eksplisit menyebutkan faktor keunggulan tersebut.
Para ahli tafsirlah yang kemudian menyebutkan bahwa keunggulan tersebut, antara lain dan terutama kecerdasan intelektual.
Ketiga, segera harus dikemukakan bahwa dalam waktu yang sama ayat ini mengemukakan bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan, tidaklah absolute/mutlak. Ia menyebutkan dengan jelas “ba’dhahum ‘ala ba’dh” (sebagian atas sebagian).
Pernyataan ini sangat realistis dan masuk akal.
Fakta-fakta sejarah umat manusia di berbagai benua dan di berbagai komunitas sampai hari ini memperlihatkan betapa relatifnya potensi akal intelektual antara laki-laki dan perempuan.
Siti Aisyah, isteri Nabi, misalnya, pada zamannya diakui sebagai perempuan dengan tingkat kecerdasan yang mengungguli kebanyakan laki-laki.
Komentari tentang post ini