Hal ini sesungguhnya sudah dituangkan dalam Konstitusi maupun instrument-instrumen hukum tentang HAM, termasuk dan terutama UU no. 7 tahun 1984.
Dalam konteks Islam, masalah ini telah lama dikemukakan oleh para ulama, melalui apa yang disebut sebagai “al-Kulliyyat al-Khams” (lima prinsip kemanusiaan universal).
Yakni “Hifz al-Din” (perlindungan atas agama dan keyakinan), “Hifz al-Nafs” (perlindungan atas hak hidup), “Hifz al-Aql” (perlindungan atas hak berpendapat dan berekspresi), ”Hifz al-Nasl/Irdh” (perlindungan atas hak-hak reproduksi dan kehormatan) dan “Hifz al-Mal” (perlindungan atas hak milik).
Lima prinsip ini dapat diurai lebih luas dan dimaknai secara kontekstual.
Hal paling penting dan krusial dikemukakan mengenai aspek perlindungan ini adalah bahwa ia haruslah dimaknai bukan melalui pendekatan proteksionistik, melainkan pendekatan substantive.
Pendekatan proteksionis memiliki kecenderungan membatasi, mengucilkan atau mensubordinasi.
Dalam konteks budaya patriarkhi pendekatan ini aturan-aturan hukum cenderung atau acap kali tidak melibatkan perempuan dalam ruang-ruang public yang dianggap tidak aman atau tidak cocok baginya.
Ini berbeda dengan pendekatan substantive.
Pendekatan ini lebih mencari jalan keluar bagi tercapainya prinsip kesetaraan dan keadilan serta pemenuhan atas hak-haknya.
Ini misalnya melalui aturan-aturan/kebijakan-kebijakan yang memfasilitasi kesetaraan dalam akses atau memperoleh kesempatan dan/atau memperkuat kemampuan atas kekurangan-kekurangan atau kelemahan-kelemahan pihak-pihak yang kurang atau tidak beruntung atau diuntungkan, baik laki-laki maupun perempuan.
Penulis adalah Mantan Komisioner Komnas Perempuan Periode 2007-2012, Pendiri dan Ketua Yayasan Fahmi. Banyak menulis buku tentang Perjuangan Kesetaraan Gender
Komentari tentang post ini